Merdeka? Think again.
Hi there. Menutup bulan agustus, gue pengen sekedar posting hal yang berbau nasionalis dikit. Telat-telat dikit gpp deh :D
Oya, sebelumnya, beberapa waktu yg lalu saya sempat merayakan tujuhbelasan di Puncak Rinjani. Okay, mungkin agak lebay merayakan tujuhbelasan di puncak tertinggi ketiga di Indonesia itu, karena menurut saya negara kita ini sama sekali belum merdeka. Iya, belum merdeka.
Nah, ceritanya pulang dari Rinjani kemarin itu, kami sempat ketemu dengan seorang kenalan lama yang tinggal di pinggiran Kota Mataram. Om Wayan namanya. Nggak ada yang spesial dari kunjungan ke tempat Om Wayan itu, cuman sowan biasa.
Tapi saya tertarik pada salah satu kisah yang diceritakan Om Wayan. Cerita tentang pengalaman beliau yang pernah menjadi penambang emas di daerah Sekotong, Lombok Timur.
Beliau cerita, dulu jaman-jamannya masyarakat umum masih bisa menambang, daerah sana lumayan menakjubkan untuk sebuah tambang emas. Kenapa? Karena nggak seperti tambang-tambang emas lainnya yang harus menggali ke dalam tanah untuk mendapatkan batu konsentrat yang mengandung emas, di daerah itu batu-batu tersebut berada di atas permukaan tanah, berkilauan diterpa sinar matahari. Sayang sekali seiring berjalannya waktu, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan tambang emas itu pada perusahaan asing.
SOUNDS FAMILIAR?? Yep! Seketika itu juga saya teringat dengan Freeport. Tentang Gunung Emas Ertsberg yang dijarah oleh Amerika tepat di depan hidung kita.
Untuk yang belum tahu, saya ceritakan sedikit sejarahnya. Konon pada tahun 1936, seorang geologis asal Belanda bernama Jean Jaques Dozy yang sedang menjelajah di Papua Barat menemukan Ertsberg, sebuah gunung yang dipenuhi dengan bijih tembaga. Dalam laporan penelitiannya, Jean Jaques Dozy memaparkan bahwa tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ertsberg itu terhampar di atas permukaan tanah, berkilauan memantulkan sinar matahari. Namun saat itu laporan penelitiannya dianggap tidak berguna dan selama bertahun-tahun tertumpuk begitu saja di dalam perpustakaan di Belanda.
Lebih dari 20 tahun kemudian, pada 1959, sebuah perusahaan tambang asal Amerika bernama Freeport Sulphur sedang berada di ambang kebangkrutan karena gerakan nasionalisasi besar-besaran yang terjadi di Kuba. Pada saat itu, memang Kuba adalah sumber pemasukan (atau lebih tepatnya daerah jajahan) Freeport Sulphur. Namun sejak 1959 Fidel Castro berkuasa, beliau menasionalisasi seluruh perusahaan asing di negeri itu, dan Freeport terancam bangkrut karenanya.
Nah, ceritanya pulang dari Rinjani kemarin itu, kami sempat ketemu dengan seorang kenalan lama yang tinggal di pinggiran Kota Mataram. Om Wayan namanya. Nggak ada yang spesial dari kunjungan ke tempat Om Wayan itu, cuman sowan biasa.
Tapi saya tertarik pada salah satu kisah yang diceritakan Om Wayan. Cerita tentang pengalaman beliau yang pernah menjadi penambang emas di daerah Sekotong, Lombok Timur.
Beliau cerita, dulu jaman-jamannya masyarakat umum masih bisa menambang, daerah sana lumayan menakjubkan untuk sebuah tambang emas. Kenapa? Karena nggak seperti tambang-tambang emas lainnya yang harus menggali ke dalam tanah untuk mendapatkan batu konsentrat yang mengandung emas, di daerah itu batu-batu tersebut berada di atas permukaan tanah, berkilauan diterpa sinar matahari. Sayang sekali seiring berjalannya waktu, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan tambang emas itu pada perusahaan asing.
SOUNDS FAMILIAR?? Yep! Seketika itu juga saya teringat dengan Freeport. Tentang Gunung Emas Ertsberg yang dijarah oleh Amerika tepat di depan hidung kita.
Untuk yang belum tahu, saya ceritakan sedikit sejarahnya. Konon pada tahun 1936, seorang geologis asal Belanda bernama Jean Jaques Dozy yang sedang menjelajah di Papua Barat menemukan Ertsberg, sebuah gunung yang dipenuhi dengan bijih tembaga. Dalam laporan penelitiannya, Jean Jaques Dozy memaparkan bahwa tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ertsberg itu terhampar di atas permukaan tanah, berkilauan memantulkan sinar matahari. Namun saat itu laporan penelitiannya dianggap tidak berguna dan selama bertahun-tahun tertumpuk begitu saja di dalam perpustakaan di Belanda.
Lebih dari 20 tahun kemudian, pada 1959, sebuah perusahaan tambang asal Amerika bernama Freeport Sulphur sedang berada di ambang kebangkrutan karena gerakan nasionalisasi besar-besaran yang terjadi di Kuba. Pada saat itu, memang Kuba adalah sumber pemasukan (atau lebih tepatnya daerah jajahan) Freeport Sulphur. Namun sejak 1959 Fidel Castro berkuasa, beliau menasionalisasi seluruh perusahaan asing di negeri itu, dan Freeport terancam bangkrut karenanya.
Pada saat yang bersamaan, Jan van Gruisen, seorang direktur pelaksana di East Borneo Company yang juga sedang mencari sumber kekayaan alam yang baru, menemukan sebuah catatan penelitian milik Jean Jaques Dozy, yang sudah berdebu karena tak tersentuh selama 20 tahun. Ya, catatan penelitian tentang Ertsberg di Papua Barat.
Van Gruisen kemudian menceritakan hal tersebut pada CEO Freeport Sulphur, Forbes Wilson, yang ternyata sangat antusias mendengar laporan tersebut. Dan begitulah, sejak saat itu Freeport Sulphur mempertaruhkan semuanya pada sebuah gunung bernama Ertsberg, Papua Barat di sebuah daerah sengketa antara Belanda dengan negara yang baru merdeka bernama Indonesia.
Van Gruisen kemudian menceritakan hal tersebut pada CEO Freeport Sulphur, Forbes Wilson, yang ternyata sangat antusias mendengar laporan tersebut. Dan begitulah, sejak saat itu Freeport Sulphur mempertaruhkan semuanya pada sebuah gunung bernama Ertsberg, Papua Barat di sebuah daerah sengketa antara Belanda dengan negara yang baru merdeka bernama Indonesia.
Selama beberapa bulan setelahnya, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ertsberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar.
The largest outcrop of base metal in the world.
Dalam penelitiannya, Wilson menemukan, ternyata selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut juga dipenuhi bijih emas dan perak. Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gunung Emas, bukan Ertsberg (gunung tembaga). Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun sialnya, lagi-lagi Freeport Sulphur menemui kejadian yang mirip dengan apa yang terjadi sebelumnya di Kuba. Pada saat itu Indonesia sedang dipimpin oleh seorang nasionalis garis keras layaknya Fidel Castro yang mengusir mereka dari Kuba. Orang yang bernama Soekarno. Sama seperti Fidel Castro, Soekarno menolak mentah-mentah rencana Freeport Sulphur dengan menyatakan bahwa jika Freeport Sulphur ingin masuk ke Irian Barat maka 60% hasil penambangan mereka diserahkan kepada Indonesia.
Pada saat itu Irian Barat sedang menjadi daerah sengketa antara Belanda dengan Indonesia, dimana akhirnya dengan bantuan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, Indonesia memenangkan sengketa tersebut. Dan untuk sesaat, Freeport Sulphur tidak dapat menginjakkan kaki di tanah air.
Semua berubah setelah terjadi konspirasi besar-besaran antara kematian John F Kennedy, Soeharto, CIA, dan Freeport, seperti yang dimuat dalam artikel Lisa Pearse yang berjudul 'JFK, Indonesia, CIA, and Freeport Sulphur' (cari aja di Google). Setelah drama penembakan John F. Kennedy, Augustus C. Long, seorang direksi Freeport Sulphur menjadi tokoh kampanye calon presiden pengganti, Presiden Johnson. Dan setelah Presiden Johnson berkuasa, Augustus C.Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Dengan posisinya, Augustus C. Long dengan mudah memberi pengaruh untuk menghentikan kengototan Soekarno. Dengan menggunakan Jenderal muda bernama Soeharto sebagai boneka, akhirnya Soekarno pun berhasil digulingkan. (Gitu sih menurut si penulis 'JFK, Indonesia, CIA, and Freeport Sulphur', bersumber dari bukti-bukti telegram milik CIA.)
Singkat cerita, setelah berhasil menggulingkan Soeakarno, Soeharto yang mengambil alih jabatan presiden di Indonesia kemudian mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967. Dan bisa ditebak, setelah undang-undang itu diresmikan, perusahaan asing pertama yang masuk adalah Freeport Sulphur. Dengan undang-undang itu Freeport Sulphur bisa masuk ke Indonesia hanya dengan membayar royalti 1% dari hasil tambang mereka. Dari situlah akhirnya Freeport Sulphur berkuasa selama lebih dari 30 tahun, sampai saat ini.
Mirip-mirip seperti yang terjadi di tempat penambangan yang diceritakan Om Wayan. Dan mungkin masih ada ratusan lagi di seluruh Indonesia, yang kita nggak tau.
Inilah kenapa menurut saya kita sama sekali belum merdeka. Jaman modern gini sih penjajahan kolonialisme ala Belanda sudah ketinggalan jaman. Bedanya kalau jaman dulu Belanda mengambil rempah-rempah begitu saja dari Indonesia, jaman sekarang negara-negara asing mengambil 99% sumber daya alam kita, dan mengembalikan 1% sisanya sebagai kamuflase seolah-olah mereka mengakui kemerdekaan kita.
Iya, cukup satu persen, dan Indonesia sudah kegirangan. Saya sering bayangkan para petinggi negara-negara asing bilang "MERDEKA? BERDAULAT? Okay, i tell you what you wanna hear. Toh 99% sumber daya alam kalian tetep jadi milik kami".
Lantas kenapa pemerintah masih saja selalu memberikan hak eksplorasi kepada perusahaan asing? You know lah jawabannya. Alasan utamanya adalah karena negara kita belum mampu melakukannya sendiri. Alasan yang konyol memang. Sudah 35 tahun sejak Freeport berada di Indonesia, dan negara ini masih saja 'belum mampu'. Yang awalnya di Tembagapura ada gunung emas, sampai sekarang gunung itu hilang dan berubah menjadi lubang yang sangat besar, kita masih saja 'belum mampu'.
Alasan kedua, karena jika perusahaan asing keluar dari Indonesia, maka akan mempengaruhi stabilitas ekonomi di Indonesia. Apa benar begitu? Faktanya, negara mendapatkan pemasukan dari Freeport sebesar 5 Triliun per tahun. Ditambah benefit lainnya seperti pembangunan infrastruktur di Papua, sebesar 2,4 Triliun per tahun. Maka seandainya Freeport pergi dari Papua, maka negara ini akan kehilangan pemasukan Rp 7,4T per tahun. Apakah itu sebuah nilai yang cukup besar? Sama sekali enggak, jika melihat APBN 2013 yang mencapai Rp1.507,7 T. Sebagai perbandingan, nilai Rp 7,4T per tahun itu hanya setengah dari besarnya laba salah satu Bank BUMN dalam 1 tahun. Jadi nggak masuk akal kalau perginya Freeport dari Indonesia akan mengganggu stabilitas ekonomi negara ini.
Alasan ketiga, dampak sosial pada masyarakat. Akan ada banyak sekali orang yang kehilangan pekerjaan. Itu juga sebenernya masalah sepele. Cukup dengan manajemen transisi antara perusahaan asing yang lama dengan perusahaan nasional yang baru. Atau lakukan apa yang pernah dilakukan oleh Fidel Castro, nasionalisasi, beli perusahaan asing tersebut. Dengan 99% hasil bumi yang tadinya dijarah pihak asing menjadi milik negara, hanya butuh 3 tahun untuk balik modal.
Jadi sebenarnya apa yang membuat pemerintah nggak bergerak menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tersebut? Satu metode penjajahan modern lainnya: HUTANG NEGARA. Masalah klasik. Sama seperti ketika Amerika mengancam akan menghentikan pinjaman kepada Indonesia jika tidak melepaskan Timor Leste pada 2002 lalu.
See? Bukti bahwa negara kita sama sekali belum merdeka.
Sebenernya masih banyak lagi hal-hal yang membuat saya berani bilang bahwa kita masih dijajah. Misalnya masalah ketergantungan impor bahan makanan, minyak bumi, dan hasil pertanian. Masalah trend di Indonesia yang dipaksa berkiblat dari negara-negara besar yang menjadikan negara ini sebagai potensi pasar yang sangat konsumtif. Masalah sumber daya manusia yang dibajak negara-negara lain. Dan masih banyak lagi.
Andai Indonesia punya Soekarno atau Fidel Castro baru.
Andai Indonesia berani mengembargo diri sendiri layaknya Korea Utara atau Papua Nugini.
Andai Indonesia punya egoisme seperti Amerika Serikat yang memiliki cadangan minyak bumi terbesar kedua di dunia tapi tidak mau melakukan ekspor minyak, namun malah mengimpor (dan menjarah) dari Timur Tengah.
Okay, posting ini udah cukup panjang untuk bikin bosen.
Jadi intinya, gue cuman pengen bilang, berapa banyak manusia-manusia cerdas di ibu kota yang peduli? Berapa banyak eksekutif-eksekutif muda berdasi di jakarta yang peduli masalah-masalah negara yg mendasar seperti ini?
Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalanin? You know what, Jakarta memang tempatnya orang gede, pusat kontrol negara ini. Dan kami, the rest of us, berharap pada kecerdasan kalian yang ada di pusat negara ini untuk memerdekakan kami. Bukan cuma mengurusi nongkrong di cafe cari wifi gratis. Oh God, saya benci iklan operator nggak mendidik itu -__-
Okay, saya sentimen. But thats the truth. Nggak heran kalau di forum-forum bawah tanah banyak wacana tentang daerah-daerah di indonesia yang pengen melepaskan diri dari NKRI. Wajar, karena jika dihitung-hitung, Gunung Emas Papua (yang sekarang sudah hilang) itu bernilai delapan kali kekayaan negara Indonesia, tapi masyarakat di sana nggak merasakannya sama sekali.
When it happen, you may think that we're not responsible.
But we are.
Monday, August 26, 2013
11:18 PM
Banyak kok yang peduli, termasuk ane, kira2 6 tahun lalu. Tapi, semakin ke sini ane makin sadar bahwa masalah sebenarnya nggak sesederhana yang bisa kita bayangkan. Soal birokrasi, soal regulasi (bayangin sampe sekarang ekspor ikan arwana super red, ikan asli Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, susah sekali), soal orang2 yang duduk di pemerintahan. Belum soal mafia antar pengusaha besar dengan penguasa daerah.
ReplyDeleteKalau mau, justru masuk sebagai anggota legislatif. Tapi kan kudu lewat partai, sedangkan partai mana yang nggak kotor dan pake uang/modal. Kudunya Indonesia ini emang diancurin sekalian, terus dibikin dari awal lagi Rei.. :D
Yah begitulah Bo. Intinya orang-orangnya. Pemimpin-pemimpinnya. Birokrat-birokratnya. Sayang banget negara yang penuh potensi, tapi nasibnya kayak gini.
ReplyDeleteTapi nggak usah dihancurin juga sih. Dibiarin aja, paling juga 30 tahun lagi hancur sendiri :D
saya suka tulisannya.
ReplyDeleteapapun itu. saya suka jiwa nasionalis tersirat yang ada di tulisan itu. :")
semoga nasionalisnya nggak sebatas tulisan yah, bro. dan semuanya. ;)
thanks sis.
DeleteIya semoga nggak cuma sebatas tulisan, tapi bisa diterapkan dalam keseharian, mulai dari hal-hal kecil..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDi Freeport, saat ini terdapat sekitar 32.000 pekerja Indonesia. Selain itu, 92 persen PDB Kabupaten Timika datang dari Freeport dan 34 persen PDB Provinsi Papua juga dari Freeport. Setiap tahun 1,9 miliar dollar AS bisnis Freeport jatuh ke pebisnis Indonesia.
ReplyDeletesaya setuju sama mbak, APABILA pemerintah menjamis lapangan pekerjaan buat teman2 kita yang ada di papua :)
yang saya maksud dengan menghentikan hak eksplorasi dari pihak asing bukan berarti menutup freeport secara tiba-tiba, dan kemudian semua stakeholdernya mati begitu saja.
DeleteBisnis tambang tetap harus berlanjut, sehingga tidak mematikan pekerja dan pemasukan daerah. Caranya bisa menasionalisasi perusahaan asing tersebut, atau perusahaan dalam negeri didukung untuk sedikit demi sedikit masuk ke ranah bisnisnya untuk kemudian secara bertahap menggantikan freeport sepenuhnya.
Btw, saya mas-mas, bukan mbak :D