Versi Rapi
Being a (Half) Solo Traveler part 8: Ijen Crater
Senin 18 Maret, Banyuwangi 06:30 AM. Pagi-pagi sekali saya sudah berada di Desa Jambu, Kecamatan Licin, Banyuwangi. Nama daerah di sini aneh-aneh x_x

Duduk di depan sebuah warung yang masih tutup, saya ditemani oleh seorang tukang ojek yang barusan mengantarkan saya dari Terminal Banyuwangi. Kami sedang menunggu si newbie yang katanya akan menyusul ke sini. Sebenarnya dari awal saya sudah ragu janjian sama si newbie, dari gaya smsnya saja sudah nggak meyakinkan. Tapi nggak apa-apa lah, saya tetap coba menunggu.

Sebuah truk pengangkut belerang melintas di depan kami. Seharusnya, truk yang baru saja melintas itulah yang akan kami tumpangi untuk naik ke Paltuding, daerah di kaki Gunung Ijen. Iya, jika kita naik ke Gunung Ijen via Banyuwangi, maka nggak ada pilihan transportasi lain selain menumpang truk pengangkut belerang, atau menyewa ojek atau mobil 4WD yang tarifnya mencapai 350ribu. Tapi berhubung si newbie belum terlihat batang hidungnya, akhirnya saya biarkan truk itu lewat. Masih ada dua jadwal keberangkatan truk lagi, yaitu pukul 08:00 dan pukul 13:00. Tapi rasanya nggak mungkin untuk ikut keberangkatan yang terakhir itu, pukul 13:00. Terlalu siang, bisa-bisa kemalaman di puncak, karena jarak antara Desa Jambu ini ke Paltuding saja masih 17 Km menyusuri hutan.

Kelamaan menunggu, si tukang ojek akhirnya bosan menemani saya ngobrol, dan pamitan kembali ke terminal untuk melanjutkan pekerjaannya. Tinggallah saya sendiri di sana. Terjebak di antara Kota Banyuwangi dan Gunung Ijen. Terjebak, karena memang sama sekali nggak ada angkot yang menghubungkan Banyuwangi dengan Desa Jambu. Satu-satunya transportasi umum ya ojek tadi, dan sekarang si bapak tukang ojek sudah turun kembali ke Banyuwangi. Otomatis saya nggak bisa turun lagi. Kecuali mungkin menumpang mobil pengangkut sayur. Tapi biarlah. Sudah tinggal setengah jalan lagi, masa harus balik, cuma gara-gara si newbie nggak datang. Judulnya kan Solo Travelling, jadi sendiri pun nggak masalah.

Pukul 07:30, si newbie belum juga berkabar. Dihubungi melalui telepon pun nggak bisa. Akhirnya saya putuskan untuk ngopi-ngopi di satu-satunya warung di sana, sambil ngobrol sama pemilik warung dan beberapa bapak-bapak yang sedang berada di sana.

Nggak berapa lama, ketika lagi asik ngobrol, tiba-tiba saja si bapak pemilik warung lari tunggang langgang keluar warung sambil berteriak-teriak.

"Woiii! Woooiii!!!"

 Untuk sesaat saya bingung kenapa si bapak tiba-tiba teriak-teriak seperti itu. Tapi detik berikutnya saya sadar, itu truk belerang yang barusan lewat! Dan si bapak berteriak-teriak untuk menyetop truk buat saya. Segera saya meraih backpack dan ikut berlari keluar warung. Namun truk itu tidak berhenti. Di luar,  saya masih berusaha berlari mengejar truk yang berjalan cepat menanjak, kemudian menghilang di sebuah tikungan. Gawat, saya ketinggalan truk pagi yang terakhir. Gara-gara menunggu si newbie.

Dengan langkah lemas saya kembali ke warung.

Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba saya dengar penduduk sekitar berteriak-teriak,
"Itu! Itu!  Truknya balik!"
Benar saja, dari balik tikungan yang menanjak tadi, saya lihat truk itu turun dan mundur perlahan-lahan. Mulai dari bagian belakang truk yang perlahan muncul di balik tikungan, sampai akhirnya truk itu benar-benar mundur, turun dari tanjakan dan berhenti menunggu saya. Yay!! Dengan sekuat tenaga saya segera berlari ke arah truk, melemparkan backpack ke dalam bak truk, kemudian memanjat masuk ke dalam bak dibantu oleh para penambang belerang yang berada di atas truk. "Makasih, makasih" ucapku terengah-engah pada para penambang itu.

Truk pun berangkat melintasi hutan menuju ke kaki Gunung Ijen.  Berdiri di dalam bak truk yang melaju kencang menyusuri jalan yang membelah hutan, melihat pemandangan serba hijau sambil menikmati udara pegunungan di pagi hari, rasanya sangat melegakan. Untuk sesaat saya lupa dengan kehidupan saya sehari-hari. Mungkin inilah nikmatnya solo travelling, seperti yang dikatakan teman-teman kemarin sebelum berangkat.

Sendirian di tempat yang sama sekali tidak kita kenal, berada di antara orang-orang yang sama sekali baru, tanpa merisaukan bagaimana cara kita pulang nanti, just me, just us, hanya terpikir untuk melangkahkan kaki ke depan mengikuti rasa penasaran tentang apa yang ada di depan kita.

Dengan abu dan serpihan-serpihan belerang sekujur tubuh, saya pun ngobrol-ngobrol dengan para penambang yang jumlahnya sekitar 10 orang. Rata-rata pada heran saya berangkat sendirian. Numpang truk belerang pula! Si newbie apa kabar ya, pikirku. Tapi sudahlah, kalau menunggu dia, saya nggak akan sampai di kawah pada waktunya.

Setelah menempuh sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya truk sampai juga di pos penambang di kaki Gunung Ijen. Setelah berterima kasih dan memberikan uang sebesar 8ribu pada sopir truk, saya trekking menuju kawah bersama rombongan penambang tadi. Lihat sekeliling, hampir nggak ada wisatawan selain saya. Iya, ini hari senin, sama sekali bukan hari yang tepat untuk naik gunung.



Perjalanan dari daerah Paltuding di kaki gunung hingga ke bibir kawah kira-kira menempuh jarak 3 sampai 4 km. Tapi jangan salah, terdapat perbedaan besar antara jalan kaki 3 km di tengah Kota Jakarta dengan trekking di gunung. Kondisi jalan dengan kemiringan yang mencapai 45 derajat membuat jarak 3 Km serasa jadi 10 km! Belum lagi saya bawa-bawa backpack seberat 10 kg di punggung. Alhasil saya berjalan naik dengan pelan-pelan sekali untuk menjaga nafas dan menghemat tenaga. Kecepatan jalan saya saat itu mungkin cuma 20 meter per menit!

Baru sekitar setengah jam berjalan, saya memutuskan untuk istirahat. Arghh, rasa-rasanya pengen sekali membuang backpack ini, melemparkannya ke tebing, agar tubuh terasa lebih ringan. Seharusnya tadi saya menitipkan backpack di pos belerang, atau di warung-warung di bawah. Akhirnya saya ambil posisi duduk di sebuah tanah datar, sambil berkata pada bapak-bapak penambang, "duluan saja pak, saya istirahat dulu!". Sambil bercanda menertawakan, para bapak-bapak penambang itu melanjutkan perjalanan.

Edan, saya benar-benar salut dengan para penambang belerang itu. Tiap pagi mereka menaiki gunung ini menempuh 90 menit jalan menanjak, menambang belerang di kawah, kemudian menempuh 90 menit lagi turun dengan memanggul belerang seberat 60 kg bahkan ada yang sampai 100 kg di pundak, cuma untuk menjualnya seharga 700 rupiah per kilogram ke perusahaan belerang. Begitu berharganya 40ribu rupiah bagi mereka. Dan lagi, mereka melakukannya dengan semangat, tanpa berkeluh kesah. Salah satu penambang yang saya temui bahkan sudah melakukannya selama berpuluh-puluh tahun, semenjak umur 14 tahun hingga kini umurnya sudah lebih dari 40. Inilah para laki-laki sejati, pikirku.

Setelah mati-matian melanjutkan perjalanan, sampai juga saya di tempat penimbangan belerang. Di sana ada koperasi para penambang yang menjual minuman botol dan makanan ringan. Akhirnya saya menemukan tempat untuk menitipkan backpack :D


Perjalanan ke kawah masih sekitar 1 km lagi dari sana, tapi dengan medan yang lebih datar. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, dan perlahan-lahan langit mulai mendung. Gunung itu pun mulai sepi. Orang-orang sudah mulai turun dari puncak, karena takut terjebak hujan. Sementara saya malah baru naik. Dan benar saja, suasana di puncak sangat-sangat sepi. Saya hanya berpapasan dengan satu atau dua penambang yang turun.




 Di depan terlihat spanduk berisi tulisan "Batas Akhir Pendakian". Saya baru sadar, tadi di bawah saya nggak sempat melapor pada petugas PA -___- kalau terjadi apa-apa di sini, nggak bakal ada yang nyariin -____-

Pura-pura nggak lihat spanduk itu, saya lanjutkan perjalanan. Suasana sudah bener-bener sepi, cuma ada saya dan monyet-monyet liar bergelantungan di atas pohon. Tapi sudahlah, saya lanjutkan saja. Masa sih nggak ada orang sama sekali di tambang, pikirku.

Akhirnya sampai juga saya di bagian lain gunung itu, yaitu bagian dataran yang menghadap ke kawah. Dan tahu apa yang saya dapat? Bukannya pemandangan kawah dengan air membiru dan latar belakang langit yang cerah yang saya dapatkan. Tapi hamparan kabut asap tebal yang mulai menutupi sebagian dataran itu. Masa iya saya harus menerobos kabut itu sendirian? Saya belum tahu medan, dan kelihatannya menyusuri jalan setapak di antara dua tebing sambil menembus kabut seperti itu bukanlah hal yang cocok dilakukan saat berjalan sendirian seperti ini.

Saya memutuskan untuk menunggu beberapa saat sambil berharap kabut akan segera hilang. Sempat saya berpapasan dengan beberapa penambang. Mereka mengingatkan saya, "hati-hati mas, susah kalo sendirian, asapnya tebal sekali!". Saya jadi makin pesimis bisa sampai di kawah -___-


Kabutnya tebal sekali..



5 Menit Kemudian:



5 Menit Selanjutnya: 



Dan akhirnya:


5 sampai 10 menit menunggu, keadaan bukannya bertambah baik, tapi malah bertambah parah. Kabut yang tadinya masih agak jauh di depan, pelan tapi pasti mulai menutupi seluruh dataran. Sampai akhirnya tempat saya menunggu pun mulai tertutup kabut tebal.

Bukannya menyerah dan balik ke bawah, saya putuskan untuk nekat menerobos kabut itu. Gelap, gelap deh. Kalau para penambang itu bisa, masa saya nggak bisa. Akhirnya pelan-pelan saya berjalan di antara dua tebing itu, menembus kabut.



 Ini jalan setapak di antara dua tebingnya..


Jadi inget quote dari salah satu member forum traveller yang saya ikuti:

"Salah satu yang bikin saya kecanduan solo travelling adalah perasaan ketika hanya ada aku & Tuhan di alam ciptaanNya yang megah ini. Semua kesombongan, keangkuhan, atau arogansi bakal langsung lenyap ketika menyadari betapa kecil dan tak berdayanya kita di hadapan Tuhan dan ciptaan-ciptaanNya.."

Yeah, he's absolutely right.

Akhirnya saya berhasil menembus kabut tersebut. Ternyata setelah sampai di atas kawah, saya baru tahu itu bukan kabut, melainkan asap dari kawah yang tertiup angin -____-. Dan beruntung, karena angin sedang bertiup ke arah tempat saya datang, di sisi lain justru sama sekali nggak tertutup asap! Yay, akhirnya perjalanan saya nggak sia-sia. Pemandangan di sana begitu mengagumkan, dengan kawah yang terlihat begitu jelas, dan para penambang yang sibuk dengan aktifitas mereka.

 
 
Saya mencari spot yang bagus, dan duduk bersama seorang bapak-bapak tua pekerja tambang di sana. Beliau bertugas untuk menjaga dan merawat tambang agar belerangnya tetap mengalir keluar. Di sana saya mengobrol dengan beliau, dan seperti biasa, beliau melontarkan pertanyaan yang akhir-akhir ini sering saya dengar.


"Sendirian aja dik dari Bali?".
"Iya pak, mumpung lagi ada waktu nih".
"Lha tadi barusan, ada mbak-mbak dari Bali juga, sendirian juga" kata si bapak.
"Lha iku wonge" lanjut si bapak sambil menunjuk seorang perempuan berjaket merah, yang sedang berjalan menuju ke arah kami.

Ketika si mbak-mbak melintas, iseng saya teriakin.
"Dari Bali mbak?" tanyaku agak keras.
"Iya nih. Masnya dari mana?"
"Saya juga dari Bali".
"Sendirian aja?" tanyanya lagi.
"Iya nih"
"Sama dong, saya juga sendiri".


Akhirnya mbak-mbak tadi ikut ngobrol dengan kami. Melfa namanya, usianya (mungkin) sepantaran dengan saya, dan dia ternyata sudah sering melakukan solo travelling. Dan begitulah, saya mendapatkan satu teman seperjuangan lagi. Sesama solo traveller. Akhirnya kami sepakat untuk bersama-sama naik ke dataran yang lebih tinggi untuk mendapatkan view yang bagus. Sebenarnya kalau sendiri-sendiri sih kami nggak bakal berani naik sampai di sudut tertinggi di atas kawah itu. Tapi karena berdua, akhirnya kami putuskan untuk sedikit nekat.

Dan nggak sia-sia kami naik ke atas. Viewnya bener-bener cantik:


Kami bareng menjelajahi setiap sudut di puncak itu. Menerobos semak, mengambil beberapa foto, berpura-pura nggak melihat tulisan tanda bahaya, sambil bercerita pengalaman masing-masing tentang tempat-tempat yang pernah dikunjungi.

"Saya ini, sudah sejak tanggal 9 kemarin keliling, dan belum pulang sama sekali", kata Melfa bercerita. "Bromo, Tretes, Welirang. Sekarang Ijen. Setelah ini, turun ke Banyuwangi, baru kemudian pulang ke Bali".

Hahha, ini sih fotokopi diri saya! Bisa-bisanya sama persis dengan saya. Saya malah sudah sejak tanggal 7, sebelas hari yang lalu. Dan setelah ini juga berencana pulang ke Bali.

Tepat saat kami memutuskan untuk turun gunung, tetes-tetes hujan mulai turun. Langit masih cerah, matahari terlihat, tapi gerimis mulai turun, meskipun sedikit. Kami pun bergegas turun. Sepanjang perjalanan turun, Melfa menyempatkan diri memunguti sampah-sampah yang terlihat. Wow, pikirku. Akhirnya saya pun ketularan. Kami memunguti sampah-sampah plastik di sepanjang perjalanan sambil misuh-misuh memaki orang-orang yang buang sampah sembarangan. Bahkan di tempat seperti ini, masih saja banyak terlihat sampah-sampah plastik bungkus makanan ringan bertebaran dimana-mana. Jelas itu bukan sampah dari para penambang belerang, karena nggak mungkin mereka bawa-bawa belerang sambil mengkonsumsi Lays, Chitato, Happytos, Mizone, atau Pulpy Orange. Ulah siapa lagi kalau bukan para wisatawan nggak tau diri. Mau menikmati keindahan alamnya, tapi nggak mau menjaga. Padahal sudah disediakan beberapa tempat sampah dari bambu di sepanjang jalan menuju puncak, tapi masih saja buang sampah sembarangan. Bahkan dalam radius 20 meter dari tempat sampah pun, masih banyak yang buang sampah sembarangan! Keterlaluan. Welcome to Indonesia, negara setengah surga namun penuh dengan manusia tak bertanggungjawab.

Sepanjang jalan menuju ke bawah, Melfa banyak bercerita tentang perjalanannya kemarin. Dengan gaya khas Sumatra dia bercerita nggak berhenti tanpa titik koma.

"'Kemarin, turun dari Bromo saya ke Tretes. Saya lihat gunung Welirang di sana, langsung saya berangkat naik. Nggak ada persiapan. Nggak bawa mantel hujan, nggak bawa sleeping bag, cuma baju di badan aja sama tas kecil".

"Eh nggak taunya apa, saya harus trekking sampai 7 jam untuk sampai di puncak. Sendirian. Kehujanan, kabut, nyari-nyari jalannya susah. Nggak macem di sini, jalannya gampang, sudah jelas. Di sana, jalan bercabang-cabang, nggak jelas".

"Tapi saya tetep naik sampai ke puncak. Sampai di atas sudah sore, nggak mungkin lagi turun. Bisa-bisa tersesat saya gelap-gelapan turun".

"Untungnya di atas saya ketemu orang dari Singapore, sama guidenya. Akhirnya nebeng lah saya sama mereka", ceritanya panjang lebar.

Buset, pikirku. Cewek, naik gunung sendirian selama 7 jam di tengah hujan.  Nggak kebayang deh. Seketika saya minder karena jelas saya kalah jauh. Nggak mungkin saya berani trekking sendirian seharian di gunung yang belum saya kenal. Mungkin tipe-tipe macem dia ini yang dijuluki crazy traveller.

Saya aja, ketika sendirian menembus kabut di puncak tadi, terbayang-bayang teman-teman saya. Pasti saat ini mereka ada yang sedang sibuk di kantor, sedang meeting, atau bermacet-macet ria di jalanan Kota Jakarta, menjalani rutinitas dan kehidupan masing-masing. Lah saya malah sendirian di atas gunung, di antara dua tebing, nekat menerobos kabut tebal. Seketika jadi pengen pulang -__-

Saking asiknya ngobrol, nggak kerasa kami sampai di Paltuding. Akhirnyaa pulaaang!

Setelah istirahat sejenak di warung, kami pun turun ke Banyuwangi. Awalnya saya berencana nebeng truk belerang lagi, tapi Melfa menawarkan untuk ikut dengannya. Akhirnya saya pun nebeng Hardtop carteran Melfa. Beberapa saat naik ke mobil, ada kejadian yang lumayan nggak enak. Si sopir Hardtop berusaha malakin saya, minta duit sebesar 100 ribu untuk tumpangan. Padahal jelas-jelas itu mobil sudah disewa oleh Melfa -___- Mungkin karena dia tau saya cuma nebeng, bukan rombongan Melfa, dan baru kenal, serta mobil sudah berjalan memasuki hutan, dia berani malakin saya.

Padahal sebelum berangkat saya sudah bilang mau nebeng, dan tanya dikasih duit berapa biasanya sama orang nebeng. Waktu itu si sopir cuma jawab, "oke ikut aja, santai aja laah". Waktu itu saya sempat berpikir, saya ketemu satu lagi orang baik yang membantu saya.

Ehh setelah beberapa saat mobil jalan dan memasuki hutan, tiba-tiba si sopir terkutuk itu bilang, "biasanya 100ribu mas". Sambil dalam hati mengumpat, saya bilang "loh kenapa nggak ngomong dari tadi sebelum berangkat?! Tadi bilangnya santai aja, saya pikir saya bisa ngasih seikhlasnya". Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya saya bilang, "yaudah stop mobilnya, saya turun di sini!". Di tengah hutan, di bawah hujan. Nggak masalah, saya punya nomor telepon tukang ojek baik hati yang tadi pagi mengantarkan saya.

Tapi akhirnya si sopir laknat memutuskan untuk menurunkan saya di pinggiran Desa Jambu. Sebelum turun dari mobil, saya sodorkan uang 100 ribu pada si sopir. Tapi nggak diterima. Sepertinya dia gengsi sama tamunya, si Melfa. Bagus deh.

Sebenernya bukan masalah uang 100 ribu. Saya cuma nggak suka caranya bilang tarif sebesar itu pada saat mobil sudah berjalan dan berada di tengah hutan. MODUS BANGET. Mungkin dipikirnya saya nggak berani turun di tengah hutan, jadi saya nggak akan punya pilihan lain selain membayar 100ribu padanya. Sayangnya kali ini dia mendapatkan korban yang salah :p

 Lagipula, itu mobil carteran Melfa, helloooww.

Saya lebih ikhlas memberikan uang 100ribu pada tukang ojek yang rela nemenin saya nunggu tadi pagi, atau supir truk belerang yang saya tumpangi tadi, atau para penambang batubara, atau orang-orang baik lain yang saya temui. Daripada harus ngasih si sopir Hardtop. Nolong enggak, bantu-bantu enggak, ramah pun enggak, eh dengan gampangnya minta duit -___-

Turun di Jambu, saya memutuskan untuk mampir lagi ke warung yang tadi pagi saya datangi. Untuk sekedar pamitan dan berterima kasih karena tadi pagi sudah mengejarkan truk untuk saya. Eh yang rencananya cuma mampir sebentar, malah jadi asik ngobrol sampai satu jam lebih. Ngobrol tentang keluarga si pemilik warung, anak-anaknya yang sukses mendapatkan pekerjaan di PLN dan jadi dosen. Padahal pengasilan mereka sehari dari warung itu cuma Rp 20ribu, tapi yang namanya rejeki, entah darimana aja datengnya, nggak disadari sampai saat ini mereka bisa membiayai sekolah anak-anak mereka sampai lulus dan bekerja.

Yeah, God works in a mysterious way.

Setelah beberapa lama mengobrol, akhirnya saya memberanikan diri untuk minta tolong diantarkan turun sampai ke Banyuwangi. Dengan istilah 'ngojekin' tentunya, bukannya 'nebeng'. Begitulah, akhirnya saya diantar turun ke Banyuwangi naik motor.

Sampai di Banyuwangi, setelah saya memberikan uang yang jumlahnya sedikit lebih banyak dari ongkos ojek seharusnya, saya pun pamitan. Nah, kalau caranya menyenangkan begini, saya dengan senang hati memberikan uang lebih. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih karena sudah banyak dibantu. Nggak kayak si supir Hardtop tadi -____-

Sebenarnya saya sudah agak lupa dengan si Melfa. Saya sudah siap-siap pulang ke Bali sendirian. Tapi ketika ngecek hp, ternyata Melfa sms, dia nungguin di pelabuhan. Haha, okay, akhirnya perjalanan solo travelling saya nggak diakhiri dengan pulang sendirian.




Nggak lama, kami pun naik ke kapal. Dari kejauhan masih nampak Gunung Ijen berdiri dengan gagahnya. Goodbye Ijen!


Senin 18 Maret, 21:30 WITA. Finally, finally, and finally. I'm home. Saya pernah denger (tapi lupa denger di mana :p) ada yang bilang,  
"Kalau kita nggak pernah pergi, kita nggak akan pernah tau betapa nikmat rasanya pulang ke rumah".
Setuju banget. Finally I'm home, setelah perjalanan panjang 11 hari yang nggak direncanakan itu. Hampir nggak ada oleh-oleh berupa materi. Yang ada cuma backpack yang sobek sana sini, lensa-lensa dan body kamera yang kotor dan lecet-lecet parah, scratch-scratch di layar hp yang bertambah banyak, dan kulit hitam legam serta lutut yang serasa mau copot.

Tapi di sisi lain saya mendapatkan banyak-banyak pelajaran tentang hidup. Tentang keramah-tamahan penduduk di pelosok negeri ini. Tentang arogansi dan ketamakan sebagian orang demi mengejar materi. Tentang banyak teman-teman baru, kenalan-kenalan baru. Tentang dua lusin kontak baru yang mengisi phonebook.

Dan tentu saja pelajaran tentang bagaimana saat kita berada di tengah-tengah alam yang luas, kita akan melepaskan semua kebutuhan tentang fisik, penampilan, status sosial, jabatan, gengsi, pride, bahkan harta. Menyadari bahwa kita, saya, kamu, mereka, laki-laki, perempuan, hanyalah manusia yang sama, makhluk yang sama, dengan kemampuan yang sama, tanpa sekat-sekat pembatas, yang saling membantu untuk bertahan hidup.



Well, akhirnya selesai juga FR yang super duper panjang ini. Fyuhh..



Mendadak blog ini jadi bandwidth killer -__-



Sunday, March 31, 2013
2 comments :
  1. Mantab..
    SoLo traveLLer bgi yg berdana Lebih,soLo backpacker mgkn bs dkatakan utk saya..
    SaLam knaL sobat..

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga aliran ransel kok, bukan koper :D
      thanks sudah mampir, salam kenal juga..

      Delete