Versi Rapi
Being a (Half) Solo Traveler part 3
Minggu 10 Maret, hari ketiga. Kami terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Seandainya semua berjalan sesuai dengan rencana semula, saat ini kami pasti sedang asik snorkling di lautan Karimunjawa. Bukannya terdampar dengan orang-orang asing tanpa tujuan jelas seperti ini. Tapi di sisi lain, jika itu terjadi, mungkin kami nggak akan pernah saling kenal karena terpisah di grup yang sama sekali berbeda. Well..

Bangun dengan badan yang masih capek akibat perjalanan jauh dan kurang tidur, rasanya malas sekali beranjak dari kasur yang nyaman. Namun kupaksakan diri untuk bangun, karena kami harus jalan sepagi mungkin untuk menghemat waktu. Rencananya kami pulang besok siang, karena memang waktu liburan sudah mulai habis. Akhirnya saya paksakan keluar kamar, dan menikmati segelas teh hangat dan menghirup segarnya udara pagi Kota Jogja.

Mbak Tere sudah bangun. Jari-jarinya sedang asik menekan tombol-tombol di Blackberry miliknya. Di sebelahnya, Merisa masih tertidur nyenyak dengan selimut menutupi seluruh tubuh, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Agaknya bocah itu benar-benar kelelahan oleh perjalanan kemarin. Jadi kami biarkan dia tidur sedikit lebih lama.

Jam setengah sembilan kami pergi mandi dan bersiap-siap. Hal pertama yang akan kami lakukan adalah sarapan, kemudian dilanjutkan dengan mencari sewaan motor. Dan ternyata, dari sekian banyak tempat persewaan motor di sepanjang Jalan Pasar Kembang, hampir nggak ada motor sewaan yang tersisa. Habis disewa oleh para wisatawan yang sedang menginvasi kota ini. Yah, beginilah Jogja pada saat long weekend. Setelah penginapan habis, motor sewaan pun habis. Untungnya setelah bolak-balik kesana kemari, akhirnya kami menemukan dua motor sewaan yang available. Masing-masing satu di tempat persewaan yang berbeda.

Tujuan kami berikutnya adalah Candi Borobudur. Sebenarnya buat saya dan Mba Tere Candi Borobudur bukanlah hal baru, karena masing-masing dari kami sudah sering pergi ke sana. Tapi untuk si bocah 19 tahun, ini pertama kalinya dia mengunjungi candi terbesar di Asia Tenggara ini. Jadi kami bela-belain naik motor selama satu setengah jam perjalanan untuk pergi ke sana.

Well, nggak ada yang spesial selama kami di sana, selain Merisa yang sepanjang jalan mengeluh jadi korban bully oleh kami yang lebih tua. Dan satu lagi, jangan coba-coba beli es kelapa muda di sana, kecuali langsung beli dengan kelapanya. Karena ketika beli es kelapa muda dengan gelas, kami curiga ada yang nggak beres. Rasanya aneh! Seperti campuran sedikit air kelapa, sedikit pemanis buatan, dan segelas air. Atau mungkin air kelapa jadi-jadian dari minuman serbuk sachetan. Entahlah, yang pasti kami nyesel kenapa nggak beli satu butir kelapa langsung.

Sepulang dari Borobudur dan mengarungi satu setengah jam (lagi) naik motor di bawah terik matahari yang menyengat dan jalanan yang ramainya kebangetan, akhirnya kami tepar lagi sesampainya di penginapan.

Sorenya kami ngobrol-ngobrol merencanakan planning untuk esok hari. Rencananya besok adalah hari terakhir kami di Jogja. Mba Tere beberapa hari di depan harus berada di Bali untuk acara kantor. Sementara Merisa sudah mulai kuliah lagi. Itu artinya besok siang mereka harus kembali ke daerah masing-masing. Saya, yang masih belum punya rencana apa-apa, masih galau mau kemana. Mau pulang, sepertinya masih terlalu dini. Toh dari rencana awal saya memang baru pulang tanggal 12 nanti. Tapi untuk tetap tinggal di Jogja sendirian rasanya malas juga. Setelah menimbang-nimbang berbagai alternatif, akhirnya saya memilih untuk jalan ke Malang, sekalian menemani Merisa pulang.

Acara malam itu adalah beli oleh-oleh, cari makan yang enak, kemudian pergi ke Alun-alun kidul. Tujuan pertama sudah jelas, belanja bakpia di pusat Bakpia Pathuk 25. Awalnya saya menawarkan untuk beli bakpia merk lain yang lebih murah.

 "Kalau cuma untuk oleh-oleh di kantor sih nggak perlu lihat kualitas, nggak perlu mahal-mahal, yang penting itu kuantitas", kataku. Tapi mereka kurang setuju. "Nggak nyari banyak-banyak kok, cuma untuk orang rumah aja", jawab mereka. Okay, nggak banyak-banyak, pikirku. Kami pun berangkat.

Tapi ketika akhirnya keluar dari pusat oleh-oleh itu, seperti yang sudah saya duga, di tangan mereka sudah ada masing-masing satu kardus besar bakpia -__-

Beberapa jam selanjutnya kami berjalan-jalan keliling kota jogja di malam hari. Awalnya kami berencana untuk makan malam di Raminten, sambil ketemuan sama Atma, teman kuliah saya dulu. Raminten itu salah satu resto ala mahasiswa yg lumayan terkenal di Jogja. Menunya unik-unik, harganya cocok di kantong, dan tempatnya pun nyaman untuk duduk berlama-lama. Tapi ketika sampai di sana, ternyata tempat itu sudah penuh sesak oleh pengunjung. Bahkan untuk mendapatkan meja dengan 6 orang, kami harus antre dulu sebanyak 9 antrean! Okay, ini long weekend (lagi!).

Akhirnya, setelah ketemuan dengan Atma n Dian kami memutuskan untuk mencari tempat lain. Kami titipkan motor sewaan di tempat parkir Raminten yang buka sampai jam setengah 4 pagi, kemudian muter-muter kota nebeng mobilnya Atma. Alun-alun Kidul, tujuan wajib di Jogja pada malam hari. Seperti biasa kami melakukan ritual tutup mata dan mencoba berjalan melewati dua beringin. Dan tentu saja kami gagal, kecuali Mba Tere yang hebatnya langsung berhasil pada percobaan pertama. Setelah puas di sana, kami lanjut ke nol kilometer untuk sekedar say hello sama si tukang tattoo kemarin, dan kemudian balik ke Raminten.

Setengah dua pagi kami kembali ke penginapan. Sambil packing, saya masih mencari-cari alternatif tujuan saya besok. Masa iya jalan sendirian di Malang, rasanya malas -__-


Senin, 11 Maret, daylight. Saya sama sekali sudah lupa dengan rencana awal saya, yaitu ke Karimunjawa. Hari ini, jika cuaca di Laut Jawa bagus, harusnya grup saya jadi menyebrang ke Karimunjawa. Tapi saya masih di sini, terbangun ratusan kilometer dari tempat seharusnya. Saya bahkan nggak pernah kontak-kontakan lagi sama grup, dan pastinya mereka nggak tau sekarang saya ada di mana.

Ngecek hp, ternyata ada satu sms masuk. Dari Mas Alex.

"Grup jadi berangkat pagi ini. Kamu dimana?".

 Sontak saya teringat lagi. Berangkat, enggak. Berangkat, enggak. Kalaupun berangkat, nggak mungkin saya sempat ke Jepara dan ikut dengan grup, karena jadwal kapal berangkat tinggal dua jam lagi. Tapi kalau nggak berangkat, entah kapan lagi saya punya waktu untuk ke sana.

Setelah beberapa saat galau oleh tujuan berikutnya, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke Jepara, menyusul grup dengan kapal selanjutnya esok hari. Lupakan Malang. Lupakan tujuan-tujuan lain. Akhirnya saya bilang ke Mba Tere dan Merisa, saya ga jadi ke Malang, melainkan balik ke Jepara, melanjutkan rencana awal yang sempat mundur 3 hari.

Hari terakhir kami di Jogja cuma kami gunakan untuk keliling mencari oleh-oleh. Bergulung-gulung kain baik meteran, dan beberapa helai kaos Malioboro.

Jam setengah satu siang kami sudah berada di Terminal Giwangan untuk naik bus ke daerah tujuan masing-masing. Mba Tere dan Merisa ke Surabaya, sementara saya ke Semarang. Selang beberapa saat, bus mereka pun berangkat. Sambil waving goodbye ke arah bus mereka yang mulai menjauh, saya menelepon Mas Dany untuk memberitahukan bahwa saya akan nyusul grup dengan kapal cepat hari berikutnya.



Sendirian lagi. Jadi anak ilang lagi.

Dan begonya, saya baru sadar kalau bus patas jurusan Semarang nggak ada di Terminal Giwangan. Mereka start dari Terminal Jombor di utara Kota Jogja. Sekitar 60-90 menit dari Giwangan menggunakan Trans Jogja. Padahal di Semarang nanti, bus terakhir menuju Jepara akan berangkat pukul 6 sore. Akhirnya dengan modal nekat dan untung-untungan saya naik bus ekonomi jurusan Semarang. Sebenernya kalau dihitung-hitung, kemungkinan dengan bus ekonomi saya baru akan sampai Semarang sekitar jam 7 malam. Tapi sudahlah, I took the risk.

Benar saja, saya baru sampai di Terminal Terboyo Semarang jam 7 lewat 5 menit. Terlambat satu jam dari jadwal bus terkahir ke Jepara. Di terminal itu sudah nggak ada bus jurusan Jepara. Sedikit terburu-buru saya setengah berlari ke arah luar terminal. Dan voila, bus terakhir jurusan Jepara sudah menunggu di luar! Kok bisa? Ya, di terminal manapun, kebiasaan seperti ini sering terjadi. Untuk bus ekonomi, memang mereka keluar dari terminal tepat waktu. Tapi setelah beberapa ratus meter keluar terminal dan lepas dari pengawasan penjaga terminal, mereka bakal ngetem lagi beberapa saat untuk mencari tambahan penumpang. Tricky dan mengakali birokrasi, tapi dengan itu saya bisa selamat sampai Jepara. Welcome to Indonesiaa!!

Bersambung lagi.
Saturday, March 23, 2013
2 comments :
  1. Kirain Solo Travelling itu jalan2 ke Solo.. :D

    Hmm.. Ke Raminten 6 orang? Kamu, Mbak Tere, Merisa, Atma, Dian. Satu orang lagi siapa?

    ReplyDelete
  2. Hahaha detail banget km bacanya bo. Iya satu kursi lagi untuk Bang Yaya, temennya atma yg rencananya mau nyusul..

    ReplyDelete