Day 21: Hari Yang Panjang
-Dinihari-
Saat ini baru aja memasuki tanggal 24 Juli. Gue belu tidur, masih tiduran di depan komputer, gara-garanya si Firman memonopoli tempat tidur kami.
Masih lumayan sibuk smsan 'ma beberapa orang, mulai dari wajib lapor ke Tika, trus Kak Echa, en Bernard, en sesekali Septi dengan OMa mereka, Vivi, Tyas, sempat jga Galih. Nggak terasa pulsa 25 ribu yang baru beli kemarin malam langsung ludes, padahal cuman but sms doang. Seakan nggak peduli dengan keramaian traffic di hape-ku, satu lagi sms dari nama baru masuk. Kak Bety sms, katanya dia lagi di Kediri, di tempat KKN tetangga kami unit 129, berkunjung ke tempat Ayu (ato sapalah), temennya. Pengennya sih aku tanya, kapan ke Ngrambe, sapa tau aku bisa mampir gitu. Tapi apa daya, pulsa udah bener-bener abisss bersih,sih, sampai ke bonus-bonus smsnya. Benernya aku masih punya poin plus-plus indosat yang bisa ditukerin dengan pulsa, tapi aku ngga kepikiran sampe sana.
Btw, salah satu masalah yang sering kami -terutama aku en firman- diskusikan adalah entah kenapa pulsa en batere hape selalu saja cepat habis. Jangan-jangan udara di Kedung Prahu ni menguapkan pulsa en batere. Abisnya, jadwal ampir tiap malem, tuh, beli pulsa. Bangkrut juga nih lama-lama..
-Tentang Bulung-
Hari ini kami akan mengajar di Bulung untuk pertama kalinya. Bulung, salah satu dusun terisolir di kawasan Widodaren, berada di tengah-tengah hutan jati, yang lumayan seram jika kita melewatinya malam hari. Kalau kalian pernah pergi dari Jogja ke Bali, begitu melewati perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, ada sebuah pondok pesantren yang namanya Gontor Putri. Nah, kira-kira 6 km ke timur, setelah pertigaan Gendingan-Walikukun, di situ ada hutan yang mengapit jalan. Di tengah-tengah hutan jati itulah dusun Bulung berada. Untuk mencapai Bulung, dari hutan tersebut kita mengambil jalan ke utara, memasuki jalan tanah yang menyusur ke tengah-tengah hutan. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang percaya ada sebuah desa di ujung jalan itu. Secara, jalannya hanya kira-kira sedikit lebih lebar dari sebuah sebuah mobil, beralaskan batu lepas dan sedikit kapur. Disitulah kami akan mengajar siang ini, untuk pertama kalinya. Kalo menurutku, kepala dusun Bulung tuh paling nggak antusias pada program PBA kami dibandingkan kepala dusun-kepala dusun lainnya, walaupun sebenarnya masyarakat sana justru banyak banget yang pengen "sekolah". Sudah hampir setengah jalan kami melaksanakan PBA, hari ini pertemuan pertama baru diadakan. Padahal, Bulung tuh dusun kedua yang kami datangi setelah Kedung Prahu sejak kami tiba di Widodaren.Bulung, sebenarnya tempat ini lumayan indah. Dengan petak-petak sawah kecil bertingkat di pinggir hutan. Begitu terpencil, begitu tenang, begitu sunyi. Dan yang pasti, begitu banyak masyarakat di sini yang masih buta aksara. Sama seperti dusun-dusun lain, pertemuan pertama di Bulung cuma diisi dengan pembagian alat tulis dan modul-modul, dan penentuan jadwal belajar.
Selain di Bulung, malam ini kami harus mengajar juga di Kedung Prahu. Di Kedung Prahu, metode belajar kami rubah. Jadi 40 orang peserta dibagi menjadi dua kelas, supaya nggak begitu padat di dalam kelas. Untungnya tempat kami mengajar tuh di SD, jadi banyak ruang kelas yang bisa dipakai. Di sini WB dipisah antara laki-laki dan perempuan. En, gue dapet jatah mengajar di kelas ibu-ibu. Seperti biasa, Lilik dan kawan-kawan menemani dari luar kelas sambil ribut-ribut. Btw, malam ini kami mengajar hanya dengan lima personel yang dibagi menjadi dua kelas, gara-gara Subhan belum datang-datang juga dari Jogja, sementara sub unit lain nggak bisa bantu karena pada ngajar juga. Well, agak keteteran juga sih, tapi tetap seperti biasa, fun!!
-PENGKHIANAT-
Sore itu Subhan datang dari Jogja dengan membawa kabar yang sedikit nggak mengenakkan. Setelah berhari-hari Subhan pulang telat dari jadwal, akhirnya kami anak-anak Widodaren tahu apa yang menahannya di Jogja begitu lama. Dan apa yang ternyata terjadi di balik layar selama ini.
Subhan cerita kalo dia dipanggil LPPM, untuk suatu hal. Subhan diberi kartu kuning, alias kartu peringatan kesalahan, entah karena apa. Usut punya usut, menurut Bu Dias, ada salah seorang dari kami unit 128 yang melaporkan ke LPPM bahwa sub unit Widodaren menggunakan cara-cara curang untuk mendapatkan WB. Bukan cuma itu, si Pengkhianat -entah siapa orangnya- juga mengatakan bahwa Subhan cenderung bekerja sendiri dalam menjalankan pekerjaannya sebagai kormanit, dan lebih mementingkan sub unit sendiri. Selain itu masih ada beberapa ejekan-ejekan lain dan tudingan-tudingan nggak berarah dari si pengecut kepada sub unit kami.
Tentu saja kami kaget bukan kepalang, en mau nggak mau kebawa emosi. Cara-cara curang apanya? Kami nggak merasa melakukannya! Kami melakukan semuanya sesuai jadwal dan aturan! Kalau mereka heran kenapa kami dapat mencapai angka 140 dalam pengumpulan WB, sementara sub unit lain hanya berkisar antara 12-30 orang waktu itu, itu karena kami bekerja lebih keras, itu saja. Semua hal yang kami lakukan bedasarkan kesepakatan dengan WB dan Kepala-kepala dusun. Kalau masalah uang snack yang dialihkan menjadi dana, asal kalian tahu, rencana itu kami usulkan jauh SETELAH kami mendapatkan ke 140 WB, bukan sebelumnya! Jadi nggak ada hubungannya uang snack dengan perolehan WB yang begitu banyak! Buktinya, setelah kami mambatalkan rencana pemberian dana tersebut, WB kami tidak lantas pergi meninggalkan PBA.
Tentang Subhan yang dikatakan hanya mendahulukan sub unit kami, tidakkah mereka sadari bahwa Banyu Biru, Kedung Gudel, Tempurejo, Nglebak, adalah hasil kerja keras Subhan melobi ke desa-desa tempat mereka ekspansi mencari WB? Memangnya WB disana untuk siapa? Untuk mereka kan? Mungkin mereka nggak menyadarinya karena mereka nggak benar-benar tahu bagaimana perjuangan Subhan mendapatkannya. Tapi aku tahu. Karenanya aku juga terbawa emosi saat itu.
Inilah sebenarnya alasan kenapa kami sub unit Widodaren tidak jadi membagi-bagikan sisa WB kami kepada dua sub unit lain. Sesuai dengan masukan dari Bu Dias, yang dalam kasus ini lebih ke pihak kami, "Kalian sudah ditikam dari belakang, kenapa kalian masih berbaik hati memberi sisa WB kepada mereka? Kalau saya sih nggak akan melakukannya."
Mungkin kami memang raja tega, nggak bijaksana, apapun, tapi sudah kami putuskan apapun yang terjadi kami nggak akan melanjutkan masalah ini dan membawanya keluar sub unit, tapi kami juga nggak akan membagi 50 orang surplus WB kami kepada mereka. Mungkin pengkhianatnya hanya satu orang atau konspirasi dari satu sub unit, kami nggak peduli. Kami nggak peduli jika ada dari mereka yang nggak bersalah menjadi korban pengkhianatan ini karena nggak jadi dapat WB dari kami. Saat itu kami sudah terlanjur sakit hati.
Kami nggak peduli lagi dengan rolling mengajar di Kedung Gudel atau apalah, kami nggak ngerasa punya kewajiban lagi untuk membantu, mulai hari itu. Kami telah dihukum karena hal-hal yang tidak kami lakukan. Jadi kami nggak bisa dihukum lagi seandainya setelah ini kami benar-benar melakukan hal-hal tersebut. Double jeopardy atau apalah namanya.
Tapi kami juga mengerti, masalah-masalah bodoh tadi hanya saat menyangkut KKN, emosi-emosi tadi hanya sebatas hal-hal yang menyangkut pekerjaan KKN. Di luar itu, kami masih tetap sahabat.
Saat ini baru aja memasuki tanggal 24 Juli. Gue belu tidur, masih tiduran di depan komputer, gara-garanya si Firman memonopoli tempat tidur kami.
Masih lumayan sibuk smsan 'ma beberapa orang, mulai dari wajib lapor ke Tika, trus Kak Echa, en Bernard, en sesekali Septi dengan OMa mereka, Vivi, Tyas, sempat jga Galih. Nggak terasa pulsa 25 ribu yang baru beli kemarin malam langsung ludes, padahal cuman but sms doang. Seakan nggak peduli dengan keramaian traffic di hape-ku, satu lagi sms dari nama baru masuk. Kak Bety sms, katanya dia lagi di Kediri, di tempat KKN tetangga kami unit 129, berkunjung ke tempat Ayu (ato sapalah), temennya. Pengennya sih aku tanya, kapan ke Ngrambe, sapa tau aku bisa mampir gitu. Tapi apa daya, pulsa udah bener-bener abisss bersih,sih, sampai ke bonus-bonus smsnya. Benernya aku masih punya poin plus-plus indosat yang bisa ditukerin dengan pulsa, tapi aku ngga kepikiran sampe sana.
Btw, salah satu masalah yang sering kami -terutama aku en firman- diskusikan adalah entah kenapa pulsa en batere hape selalu saja cepat habis. Jangan-jangan udara di Kedung Prahu ni menguapkan pulsa en batere. Abisnya, jadwal ampir tiap malem, tuh, beli pulsa. Bangkrut juga nih lama-lama..
-Tentang Bulung-
Hari ini kami akan mengajar di Bulung untuk pertama kalinya. Bulung, salah satu dusun terisolir di kawasan Widodaren, berada di tengah-tengah hutan jati, yang lumayan seram jika kita melewatinya malam hari. Kalau kalian pernah pergi dari Jogja ke Bali, begitu melewati perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, ada sebuah pondok pesantren yang namanya Gontor Putri. Nah, kira-kira 6 km ke timur, setelah pertigaan Gendingan-Walikukun, di situ ada hutan yang mengapit jalan. Di tengah-tengah hutan jati itulah dusun Bulung berada. Untuk mencapai Bulung, dari hutan tersebut kita mengambil jalan ke utara, memasuki jalan tanah yang menyusur ke tengah-tengah hutan. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang percaya ada sebuah desa di ujung jalan itu. Secara, jalannya hanya kira-kira sedikit lebih lebar dari sebuah sebuah mobil, beralaskan batu lepas dan sedikit kapur. Disitulah kami akan mengajar siang ini, untuk pertama kalinya. Kalo menurutku, kepala dusun Bulung tuh paling nggak antusias pada program PBA kami dibandingkan kepala dusun-kepala dusun lainnya, walaupun sebenarnya masyarakat sana justru banyak banget yang pengen "sekolah". Sudah hampir setengah jalan kami melaksanakan PBA, hari ini pertemuan pertama baru diadakan. Padahal, Bulung tuh dusun kedua yang kami datangi setelah Kedung Prahu sejak kami tiba di Widodaren.Bulung, sebenarnya tempat ini lumayan indah. Dengan petak-petak sawah kecil bertingkat di pinggir hutan. Begitu terpencil, begitu tenang, begitu sunyi. Dan yang pasti, begitu banyak masyarakat di sini yang masih buta aksara. Sama seperti dusun-dusun lain, pertemuan pertama di Bulung cuma diisi dengan pembagian alat tulis dan modul-modul, dan penentuan jadwal belajar.
Selain di Bulung, malam ini kami harus mengajar juga di Kedung Prahu. Di Kedung Prahu, metode belajar kami rubah. Jadi 40 orang peserta dibagi menjadi dua kelas, supaya nggak begitu padat di dalam kelas. Untungnya tempat kami mengajar tuh di SD, jadi banyak ruang kelas yang bisa dipakai. Di sini WB dipisah antara laki-laki dan perempuan. En, gue dapet jatah mengajar di kelas ibu-ibu. Seperti biasa, Lilik dan kawan-kawan menemani dari luar kelas sambil ribut-ribut. Btw, malam ini kami mengajar hanya dengan lima personel yang dibagi menjadi dua kelas, gara-gara Subhan belum datang-datang juga dari Jogja, sementara sub unit lain nggak bisa bantu karena pada ngajar juga. Well, agak keteteran juga sih, tapi tetap seperti biasa, fun!!
-PENGKHIANAT-
Sore itu Subhan datang dari Jogja dengan membawa kabar yang sedikit nggak mengenakkan. Setelah berhari-hari Subhan pulang telat dari jadwal, akhirnya kami anak-anak Widodaren tahu apa yang menahannya di Jogja begitu lama. Dan apa yang ternyata terjadi di balik layar selama ini.
Subhan cerita kalo dia dipanggil LPPM, untuk suatu hal. Subhan diberi kartu kuning, alias kartu peringatan kesalahan, entah karena apa. Usut punya usut, menurut Bu Dias, ada salah seorang dari kami unit 128 yang melaporkan ke LPPM bahwa sub unit Widodaren menggunakan cara-cara curang untuk mendapatkan WB. Bukan cuma itu, si Pengkhianat -entah siapa orangnya- juga mengatakan bahwa Subhan cenderung bekerja sendiri dalam menjalankan pekerjaannya sebagai kormanit, dan lebih mementingkan sub unit sendiri. Selain itu masih ada beberapa ejekan-ejekan lain dan tudingan-tudingan nggak berarah dari si pengecut kepada sub unit kami.
Tentu saja kami kaget bukan kepalang, en mau nggak mau kebawa emosi. Cara-cara curang apanya? Kami nggak merasa melakukannya! Kami melakukan semuanya sesuai jadwal dan aturan! Kalau mereka heran kenapa kami dapat mencapai angka 140 dalam pengumpulan WB, sementara sub unit lain hanya berkisar antara 12-30 orang waktu itu, itu karena kami bekerja lebih keras, itu saja. Semua hal yang kami lakukan bedasarkan kesepakatan dengan WB dan Kepala-kepala dusun. Kalau masalah uang snack yang dialihkan menjadi dana, asal kalian tahu, rencana itu kami usulkan jauh SETELAH kami mendapatkan ke 140 WB, bukan sebelumnya! Jadi nggak ada hubungannya uang snack dengan perolehan WB yang begitu banyak! Buktinya, setelah kami mambatalkan rencana pemberian dana tersebut, WB kami tidak lantas pergi meninggalkan PBA.
Tentang Subhan yang dikatakan hanya mendahulukan sub unit kami, tidakkah mereka sadari bahwa Banyu Biru, Kedung Gudel, Tempurejo, Nglebak, adalah hasil kerja keras Subhan melobi ke desa-desa tempat mereka ekspansi mencari WB? Memangnya WB disana untuk siapa? Untuk mereka kan? Mungkin mereka nggak menyadarinya karena mereka nggak benar-benar tahu bagaimana perjuangan Subhan mendapatkannya. Tapi aku tahu. Karenanya aku juga terbawa emosi saat itu.
Inilah sebenarnya alasan kenapa kami sub unit Widodaren tidak jadi membagi-bagikan sisa WB kami kepada dua sub unit lain. Sesuai dengan masukan dari Bu Dias, yang dalam kasus ini lebih ke pihak kami, "Kalian sudah ditikam dari belakang, kenapa kalian masih berbaik hati memberi sisa WB kepada mereka? Kalau saya sih nggak akan melakukannya."
Mungkin kami memang raja tega, nggak bijaksana, apapun, tapi sudah kami putuskan apapun yang terjadi kami nggak akan melanjutkan masalah ini dan membawanya keluar sub unit, tapi kami juga nggak akan membagi 50 orang surplus WB kami kepada mereka. Mungkin pengkhianatnya hanya satu orang atau konspirasi dari satu sub unit, kami nggak peduli. Kami nggak peduli jika ada dari mereka yang nggak bersalah menjadi korban pengkhianatan ini karena nggak jadi dapat WB dari kami. Saat itu kami sudah terlanjur sakit hati.
Kami nggak peduli lagi dengan rolling mengajar di Kedung Gudel atau apalah, kami nggak ngerasa punya kewajiban lagi untuk membantu, mulai hari itu. Kami telah dihukum karena hal-hal yang tidak kami lakukan. Jadi kami nggak bisa dihukum lagi seandainya setelah ini kami benar-benar melakukan hal-hal tersebut. Double jeopardy atau apalah namanya.
Tapi kami juga mengerti, masalah-masalah bodoh tadi hanya saat menyangkut KKN, emosi-emosi tadi hanya sebatas hal-hal yang menyangkut pekerjaan KKN. Di luar itu, kami masih tetap sahabat.
Tuesday, July 24, 2007
11:26 PM
Post a Comment