Being a (Half) Solo Traveler part 2
Sebenernya kalau sekedar jalan sendirian saya lumayan sering. Naik bus sendiri atau bermalam di terminal sudah nggak asing lagi buat saya. Tapi rasa-rasanya belum bisa dibilang solo travelling, karena biasanya sendirian cuma pada saat di perjalanan saja. Sementara di tempat tujuan akhirnya jalan bareng sama teman-teman yang sudah dikenal.
Sabtu 9 Maret, Jepara 05:00 WIB. Tetes-tetes air hujan mulai turun dan membekas pada kaca jendela bus yang sedang saya tumpangi. Membuat guratan-guratan kecil memanjang yang berkilau jingga karena memantulkan sinar lampu-lampu jalan yang masih menyala. Melihat gelapnya langit pagi ini, sepertinya memang cuaca di Jepara sedang tidak bersahabat. Kalau sudah begini, tidak ada harapan kapal bakal berani melaut. Sambil memandangi jalanan yang masih sepi, saya mencari-cari tujuan alternatif selanjutnya jika pagi ini kapal benar-benar tidak berangkat. Semarang. Dieng. Solo. Jogja. Cuma itu yang masuk akal dijangkau dari Jepara.
Selang beberapa saat, bus melaju memasuki kawasan terminal kota Jepara. Saya belum memejamkan mata lagi sejak terbangun jam 12 malam tadi. Sebaliknya, Ahlul, cowok yang duduk di kursi sebelah saya masih tertidur pulas sejak semalam. Malam sebelumnya kami sempat ngobrol-ngobrol sedikit. Benar dugaan saya, Ahlul dan dua cewek rombongannya juga berniat untuk menyebrang ke Karimunjawa. Ahlul adalah adik dari leader salah satu grup open trip ke Karimunjawa. Sementara dua cewek rombongannya itu peserta trip yang berangkat via Surabaya. Selain itu masih ada sekitar 60 orang grup mereka yang berasal dari Jakarta dan Bandung, yang rencananya akan berkumpul di Pelabuhan Kartini. Sementara grup saya? Selain Mas Alex dan Mba Icha yang duduk di kursi bus paling depan, yang lainnya sama sekali nggak berkabar -_-
Turun dari bus, hujan sudah mulai gerimis, dan angin juga bertiup kencang. "Ayo cari penginapan!" kata Mas Alex di sela-sela hujan. Sesaat saya bimbang, harus cari penginapan bareng Mas Alex atau terdampar sendirian di daerah yang belum saya kenal, tanpa kejelasan. Tapi masalahnya kalau cari penginapan sekarang, itu artinya saya harus tetap stay di Jepara sampai cuaca cukup bagus untuk menyeberang. Bisa sampai berhari-hari. Padahal sampai saat ini belum ada kepastian kapan kapal akan berlayar. Akhirnya saya memutuskan untuk nggak mencari penginapan dulu. Setelah pamitan sama Mas Alex, saya segera berlari menyusul Ahlul dan rombongannya yang sudah meneduh duluan.
"Jadi plan kalian sekarang gimana?", tanyaku pada Ahlul, mengacu pada cuaca buruk yang sedang terjadi.
"Tunggu sampai jam 9 sambil berharap cuaca tiba-tiba berubah".
Well, saya setuju-setuju saja karena memang nggak ada plan yang lebih bagus. Jam 5 pagi di terminal kecil yang masih sepi dan gelap, dengan tiupan angin yang mungkin mencapai 18 Knot dan hujan yang mulai deras, rasanya lebih baik ramai-ramai daripada sendirian. Kami memesan minuman hangat di pedagang yang sudah buka, mengganjal perut dengan gorengan, sambil ngobrol dengan beberapa orang di sana. Mulai dari bapak-ibu pedagang yang ramah, supir bus malam yang kocak, tukang becak yang mangkal di sana, sampai orang-orang asli sana yang kebetulan lewat. Sambil mengisi waktu kami ketawa-ketawa bareng orang-orang itu, sambil sedikit-sedikit menggali informasi tentang daerah sana.
"Kalau di sini memang begini mas, cuacanya nggak tentu. Kapal kadang jalan kadang enggak. Udah sering anak-anak mahasiswa yang terjebak di Karimun gara-gara kapal nggak berangkat. Kadang seminggu, kadang dua minggu di sana.", cerita si bapak pedagang.
"Kadang juga ada wisatawan yang maksa-maksa berangkat, ikut kapal nelayan. Akibatnya setelah sampai di sana nggak bisa pulang", tambah si supir bus.
"Mending kalian jalan-jalan di sekitar sini aja, nyebrang ke Pulau Panjang deket sini, atau main-main di Pantai Kartini", kata ibu pedagang.
Mendengar cerita-cerita mereka, sedikit demi sedikit kami mulai pasrah nggak jadi berangkat ke Karimunjawa.
Sekitar jam 8 pagi, akhirnya hujan pun berhenti. Namun angin masih saja bertiup kencang, dan awan mendung masih menggantung-gantung di langit. Kami memutuskan untuk pergi ke pelabuhan untuk melihat situasi di sana. Setelah berterima kasih dan pamitan sama bapak-ibu pedagang, kami naik becak ke pelabuhan yang letaknya kurang lebih 2 km dari terminal.
Sampai di pelabuhan, ternyata suasana sudah ramai. Gara-gara liburan long weekend, banyak sekali wisatawan yang akan menyeberang. Rata-rata mereka berkelompok. Ada yang 4 orang, ada yang 8 orang, ada juga kelompok yang berjumlah dua bus. Termasuk rombongan Ahlul dari Jakarta dan Bandung yang sudah mulai berkumpul. Okay, saya bener-bener jadi anak ilang, pikirku. Grup saya sendiri kemungkinan nggak akan berkumpul di sini, karena malam sebelumnya sudah dipastikan batal berangkat.
Karena Ahlul sudah menemukan grupnya, saya bermaksud untuk pamitan. Nggak enak rasanya kalau gabung sama grup lain. Tapi Ahlul malah menawarkan untuk ikut dengan mereka.
"Udah, gabung aja dulu sama kita. Kita juga belum tau setelah ini mau gimana", katanya.
Akhirnya saya ikut, bergabung dengan grup mereka yang sedang membahas rencana selanjutnya. Kami cuma kebanyakan duduk diam mendengarkan para leader mereka mencari alternatif selanjutnya. Sempat saya berpikir, apa kabar grup saya ya. Nggak seperti grup ini, grup saya semua pada pasrah menunggu keberangkatan kapal berikutnya di hari senin.
Setelah berjam-jam berdiskusi, akhirnya para leader grup mereka memutuskan untuk mengalihkan trip ke Gunung Kidul, menjelajahi Goa Pindul dan pantai-pantai berpasir putih di selatan Kota Jogjakarta. Tujuan yang kurang menarik untuk saya, karena bisa dibilang hampir semua pantai di Gunung Kidul sudah pernah saya kunjungi. Tapi di sisi lain, saya sendiri belum punya tujuan mau kemana setelah ini. Karena nggak tau harus kemana lagi, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Jogja saja. Kota yang sudah lumayan saya kenal baik. Saya menghampiri Mas Malik, leader grup yang juga kakaknya Ahlul yang sedang sibuk telpon sana-sini mencari bus untuk dicarter.
"Mas, saya nebeng sampai Jogja kota ya?" tanyaku.
"Oh ya monggo. Bareng kita (para leader) aja nanti di belakang" katanya.
"Wah makasih mas!" jawabku.
"Sesama backpacker ya gini, kita saling bantu", timpalnya sambil sibuk memencet nomor telepon bus carteran.
Begitulah, akhirnya saya nebeng bus milik grup orang lain ke Jogja. Dan lagi, salah satu cewek yang bareng Ahlul tadi bilang, "gue ikut lo aja deh ke Jogja". Bagus deh, setidaknya saya nggak jalan sendirian di jogja.
Jam setengah dua siang bus mereka datang. Saya ambil posisi di bagian belakang bus bareng Ahlul dan teman-teman pengurus grup mereka. Sedikit aneh rasanya ketika tiba-tiba masuk grup orang lain dan nebeng bus mereka. Tapi saya diterima dengan baik di sana. Seolah-olah mereka ingin mengiyakan kata-kata Mas Malik tadi. Sesama backpacker kita saling bantu. "Welcome to real backpacker's life" :)
Perjalanan dari Jepara menuju Kota Jogja berjalan tersendat-sendat. Selain karena hujan yang terus turun di sepanjang perjalanan, lalu lintas dari Semarang ke arah Magelang juga macet parah. Alhasil pukul 21:15 bus kami baru sampai di Kota Jogja. Dengan perasaan lega kami bertiga turun dari bus, di ujung selatan Jalan Malioboro untuk berpisah dengan grup itu. Bertiga, yaitu saya dan dua cewek rombongan Ahlul dari Surabaya tadi. Sementara Ahlul sendiri harus stay bersama para leader grup untuk mengantar peserta trip melanjutkan perjalanan ke Gunung Kidul. Setelah pamitan sama Mas Malik dan Ahlul, kami pun berjalan menuju arah Malioboro.
Suasana Nol Kilometer Malioboro di malam minggu plus liburan long weekend itu asli ramenya nggak tanggung-tanggung. Mulai dari ababil-ababil yang pacaran, mahasiswa-mahasiswa yang sekedar nongkrong, keluarga-keluarga yang lagi liburan, sampai para skater dan blader yang lagi show off, semua bersesak-sesak di sana. Dan kami, tiga orang yang terdampar dengan wajah kucel seharian nggak mandi, badan lengket penuh dengan keringat, dan menggendong backpack segede gaban di punggung, harus berjalan tanpa tujuan yang pasti menerobos keramaian itu menyusuri sepanjang jalan Malioboro sambil berharap masih ada penginapan murah yang kosong. Sebenernya siang tadi saya sempat menelepon Sita, teman yang tinggal di Jogja, untuk nitip dua cewek ini di rumahnya. Tapi setelah sedikit berdiskusi akhirnya kami sepakat untuk mencari penginapan saja di dekat Malioboro, agar akses kemana-mana lebih dekat. Sebenarnya dalam hati saya pesimis, nggak yakin dapat penginapan ala backpacker di malam selarut ini, plus pada saat liburan long weekend begini. Tapi sudahlah, nggak ada salahnya dicoba.
Dengan langkah berat kami menyusuri sepanjang Jalan Malioboro menerobos kerumunan orang-orang dan kemacetan lalu-lintas. Setiap jalan kecil dan gang-gang kami susuri, mulai dari Prawirodirjan, Suryatmajan, Jalan Dagen, sampai gang-gang kecil di antara jalan-jalan itu. Keluar masuk penginapan-penginapan yang ada di sana tanpa hasil. Hampir dua jam kami berjalan menyusuri setiap gang dan lorong gelap, dan hasilnya selalu sama: kamar penuh. Kalaupun ada yang kosong, harganya mahal, di atas 300 ribuan. Harapan satu-satunya tinggal Jalan Sosrowijayan. Memang, Jalan Sosrowijayan inilah daerah yang terkenal dengan penginapan ala backpackernya. Tapi biasanya pada musim liburan begini, selain kemungkinan nggak ada lagi kamar kosong, tarif kamar di sana biasanya jadi melonjak tinggi. Memang masih ada satu daerah lagi yang banyak penginapannya, yaitu kawasan Pasar Kembang. Tapi saya pribadi menghindari bermalam di sana, karena letaknya dekat lokalisasi. Apalagi bawa dua cewek ke sana, bisa-bisa orang berpikiran macem-macem.... -__-
Jam sebelas malam kami sampai di ujung Jalan Sosrowijayan. Backpack-backpack kami sudah mulai terasa berat, kaki pun rasanya sudah nggak keruan dipakai jalan. Malam semakin larut, jalanan sudah mulai sepi, para wisatawan sudah pulang ke penginapan masing-masing, dan nasib kami masih belum jelas. Tapi kami harus tetap jalan dan menemukan penginapan, karena sebelumnya kami sempat berpapasan dengan beberapa backpacker yang nasibnya seperti kami, muter-muter cari penginapan. Sudah susah cari kamar kosong, masih harus bersaing pula sama backpacker-backpacker itu! Untungnya, setelah menyusuri dua-pertiga Jalan Sosrowijayan, akhirnya kami mendapatkan satu penginapan yang masih kosong. Kamarnya nyaman dan murah pula! Tanpa buang waktu kami segera deal dengan bapak penjaga penginapan. Akhirnyaaa, mandii!
Minggu 10 Maret. Jogjakarta, 00:10 dini hari. Selesai mandi, bersih-bersih dan makan malam, kami sepakat untuk berjalan-jalan malam sebentar sambil menurunkan tensi yang menanjak akibat perjalanan yang nggak keruan seharian tadi. Kami menyusuri Jalan Malioboro yang sudah sepi. Hanya satu dua kendaraan yang masih melintas. Di ujung selatan Jalan Malioboro, di bawah cahaya lampu-lampu kekuningan masih terlihat keramaian anak-anak muda yang sedang bermain skate dan duduk-duduk mengobrol bersama. Ke sanalah tujuan kami, untuk sekedar menikmati suasana malam hari yang istimewa di ujung Jalan Malioboro. Saya akui, belum pernah saya temui tempat lain yang memiliki suasana khas seperti di sini. Di bawah lampu-lampu yang bercahaya kekuningan, dengan latar bangunan-bangunan tua jaman penjajahan Belanda, dan jalanan malam hari yang sudah sepi dari kendaraan yang lewat. Tempat duduk-tempat duduk dengan orang-orang yang bercanda dan tertawa bersama memecah keheningan malam. Dilengkapi taman-taman kecil dan patung-patung serta ornamen-ornamen yang artistik. Sebuah atmosfer yang sempurna di tengah kota Jogja, membuat setiap orang merasa kota ini sedang menyambut dengan hangat dan berkata ramah, "Welcome home!" :)
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. Penuh selaksa makna.
Terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu.
nikmati bersama suasana Jogja.
Sayup-sayup terdengar para pengamen menyanyikan lagu itu. Saya sedang duduk lesehan sambil menunggu dua teman saya yang sedang asyik bikin tattoo temporer di salah satu pinggiran jalan. Karena sudah terlanjur pewe, akhirnya kami jadi duduk-duduk lesehan di tempat si tukang tattoo, sambil ngobrol-ngobrol. Tattoo-tattoo sudah selesai dibuat dan didokumentasikan dengan kamera. Ngelihat kami membawa kamera, si tukang tattoo tiba-tiba meminjam kamera kami. Kemudian dia malah asik sendiri jepret-jepret ke sana-kemari dengan kamera kami. Nggak nyangka ternyata dia lumayan fasih juga menggunakan DSLR. Setiap orang yang lewat dijepretnya. Mulai dari tuna wisma yang sedang tidur, bapak-bapak yang lewat sambil memanggul barang, dan teman-teman mangkalnya. Kami cuma ngakak-ngakak melihat ulahnya yang aneh dengan gaya menjepretnya yang lebay. Berlarian kesana-kemari memamerkan kamera kami pada teman-temannya. Akhirnya kami pun keterusan ngobrol di sana.
Sampai akhirnya nggak kerasa waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Dengan terpaksa kami pamitan untuk pulang, karena besok kami sudah memiliki jadwal yang padat sejak pagi. Sebelum pulang, si tukang tattoo sempat minta foto-foto bareng, dan minta ditag di Facebook -__-
Selama perjalanan pulang kembali ke hotel, kami masih sempat berfoto-foto ria dan bercanda menertawakan ulah si tukang tatoo dengan kameranya tadi..
Benar-benar hari yang aneh untuk kami bertiga. Baru tadi pagi terbangun di sudut Kota Jepara dengan tujuan Kepulauan Karimunjawa. Namun hari ini kami akhiri dengan terdampar ratusan kilometer dari tujuan seharusnya. Menghabiskan malam bersama orang-orang yang baru saling bertemu malam sebelumnya. Tanpa tahu latar belakang dan kehidupan masing-masing. Kami bahkan belum saling hafal nama satu sama lain, namun semua bisa terasa begitu dekat. Tanpa prasangka. Tanpa penilaian. Just take our moments together. Live our life freely. This is how life should work.
Jadi inget semboyannya MLIA, Life is pretty normal today -__-
Bersambung.
Sabtu 9 Maret, Jepara 05:00 WIB. Tetes-tetes air hujan mulai turun dan membekas pada kaca jendela bus yang sedang saya tumpangi. Membuat guratan-guratan kecil memanjang yang berkilau jingga karena memantulkan sinar lampu-lampu jalan yang masih menyala. Melihat gelapnya langit pagi ini, sepertinya memang cuaca di Jepara sedang tidak bersahabat. Kalau sudah begini, tidak ada harapan kapal bakal berani melaut. Sambil memandangi jalanan yang masih sepi, saya mencari-cari tujuan alternatif selanjutnya jika pagi ini kapal benar-benar tidak berangkat. Semarang. Dieng. Solo. Jogja. Cuma itu yang masuk akal dijangkau dari Jepara.
Selang beberapa saat, bus melaju memasuki kawasan terminal kota Jepara. Saya belum memejamkan mata lagi sejak terbangun jam 12 malam tadi. Sebaliknya, Ahlul, cowok yang duduk di kursi sebelah saya masih tertidur pulas sejak semalam. Malam sebelumnya kami sempat ngobrol-ngobrol sedikit. Benar dugaan saya, Ahlul dan dua cewek rombongannya juga berniat untuk menyebrang ke Karimunjawa. Ahlul adalah adik dari leader salah satu grup open trip ke Karimunjawa. Sementara dua cewek rombongannya itu peserta trip yang berangkat via Surabaya. Selain itu masih ada sekitar 60 orang grup mereka yang berasal dari Jakarta dan Bandung, yang rencananya akan berkumpul di Pelabuhan Kartini. Sementara grup saya? Selain Mas Alex dan Mba Icha yang duduk di kursi bus paling depan, yang lainnya sama sekali nggak berkabar -_-
Turun dari bus, hujan sudah mulai gerimis, dan angin juga bertiup kencang. "Ayo cari penginapan!" kata Mas Alex di sela-sela hujan. Sesaat saya bimbang, harus cari penginapan bareng Mas Alex atau terdampar sendirian di daerah yang belum saya kenal, tanpa kejelasan. Tapi masalahnya kalau cari penginapan sekarang, itu artinya saya harus tetap stay di Jepara sampai cuaca cukup bagus untuk menyeberang. Bisa sampai berhari-hari. Padahal sampai saat ini belum ada kepastian kapan kapal akan berlayar. Akhirnya saya memutuskan untuk nggak mencari penginapan dulu. Setelah pamitan sama Mas Alex, saya segera berlari menyusul Ahlul dan rombongannya yang sudah meneduh duluan.
"Jadi plan kalian sekarang gimana?", tanyaku pada Ahlul, mengacu pada cuaca buruk yang sedang terjadi.
"Tunggu sampai jam 9 sambil berharap cuaca tiba-tiba berubah".
Well, saya setuju-setuju saja karena memang nggak ada plan yang lebih bagus. Jam 5 pagi di terminal kecil yang masih sepi dan gelap, dengan tiupan angin yang mungkin mencapai 18 Knot dan hujan yang mulai deras, rasanya lebih baik ramai-ramai daripada sendirian. Kami memesan minuman hangat di pedagang yang sudah buka, mengganjal perut dengan gorengan, sambil ngobrol dengan beberapa orang di sana. Mulai dari bapak-ibu pedagang yang ramah, supir bus malam yang kocak, tukang becak yang mangkal di sana, sampai orang-orang asli sana yang kebetulan lewat. Sambil mengisi waktu kami ketawa-ketawa bareng orang-orang itu, sambil sedikit-sedikit menggali informasi tentang daerah sana.
"Kalau di sini memang begini mas, cuacanya nggak tentu. Kapal kadang jalan kadang enggak. Udah sering anak-anak mahasiswa yang terjebak di Karimun gara-gara kapal nggak berangkat. Kadang seminggu, kadang dua minggu di sana.", cerita si bapak pedagang.
"Kadang juga ada wisatawan yang maksa-maksa berangkat, ikut kapal nelayan. Akibatnya setelah sampai di sana nggak bisa pulang", tambah si supir bus.
"Mending kalian jalan-jalan di sekitar sini aja, nyebrang ke Pulau Panjang deket sini, atau main-main di Pantai Kartini", kata ibu pedagang.
Mendengar cerita-cerita mereka, sedikit demi sedikit kami mulai pasrah nggak jadi berangkat ke Karimunjawa.
Sekitar jam 8 pagi, akhirnya hujan pun berhenti. Namun angin masih saja bertiup kencang, dan awan mendung masih menggantung-gantung di langit. Kami memutuskan untuk pergi ke pelabuhan untuk melihat situasi di sana. Setelah berterima kasih dan pamitan sama bapak-ibu pedagang, kami naik becak ke pelabuhan yang letaknya kurang lebih 2 km dari terminal.
Sampai di pelabuhan, ternyata suasana sudah ramai. Gara-gara liburan long weekend, banyak sekali wisatawan yang akan menyeberang. Rata-rata mereka berkelompok. Ada yang 4 orang, ada yang 8 orang, ada juga kelompok yang berjumlah dua bus. Termasuk rombongan Ahlul dari Jakarta dan Bandung yang sudah mulai berkumpul. Okay, saya bener-bener jadi anak ilang, pikirku. Grup saya sendiri kemungkinan nggak akan berkumpul di sini, karena malam sebelumnya sudah dipastikan batal berangkat.
Karena Ahlul sudah menemukan grupnya, saya bermaksud untuk pamitan. Nggak enak rasanya kalau gabung sama grup lain. Tapi Ahlul malah menawarkan untuk ikut dengan mereka.
"Udah, gabung aja dulu sama kita. Kita juga belum tau setelah ini mau gimana", katanya.
Akhirnya saya ikut, bergabung dengan grup mereka yang sedang membahas rencana selanjutnya. Kami cuma kebanyakan duduk diam mendengarkan para leader mereka mencari alternatif selanjutnya. Sempat saya berpikir, apa kabar grup saya ya. Nggak seperti grup ini, grup saya semua pada pasrah menunggu keberangkatan kapal berikutnya di hari senin.
Setelah berjam-jam berdiskusi, akhirnya para leader grup mereka memutuskan untuk mengalihkan trip ke Gunung Kidul, menjelajahi Goa Pindul dan pantai-pantai berpasir putih di selatan Kota Jogjakarta. Tujuan yang kurang menarik untuk saya, karena bisa dibilang hampir semua pantai di Gunung Kidul sudah pernah saya kunjungi. Tapi di sisi lain, saya sendiri belum punya tujuan mau kemana setelah ini. Karena nggak tau harus kemana lagi, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Jogja saja. Kota yang sudah lumayan saya kenal baik. Saya menghampiri Mas Malik, leader grup yang juga kakaknya Ahlul yang sedang sibuk telpon sana-sini mencari bus untuk dicarter.
"Mas, saya nebeng sampai Jogja kota ya?" tanyaku.
"Oh ya monggo. Bareng kita (para leader) aja nanti di belakang" katanya.
"Wah makasih mas!" jawabku.
"Sesama backpacker ya gini, kita saling bantu", timpalnya sambil sibuk memencet nomor telepon bus carteran.
Begitulah, akhirnya saya nebeng bus milik grup orang lain ke Jogja. Dan lagi, salah satu cewek yang bareng Ahlul tadi bilang, "gue ikut lo aja deh ke Jogja". Bagus deh, setidaknya saya nggak jalan sendirian di jogja.
Jam setengah dua siang bus mereka datang. Saya ambil posisi di bagian belakang bus bareng Ahlul dan teman-teman pengurus grup mereka. Sedikit aneh rasanya ketika tiba-tiba masuk grup orang lain dan nebeng bus mereka. Tapi saya diterima dengan baik di sana. Seolah-olah mereka ingin mengiyakan kata-kata Mas Malik tadi. Sesama backpacker kita saling bantu. "Welcome to real backpacker's life" :)
Perjalanan dari Jepara menuju Kota Jogja berjalan tersendat-sendat. Selain karena hujan yang terus turun di sepanjang perjalanan, lalu lintas dari Semarang ke arah Magelang juga macet parah. Alhasil pukul 21:15 bus kami baru sampai di Kota Jogja. Dengan perasaan lega kami bertiga turun dari bus, di ujung selatan Jalan Malioboro untuk berpisah dengan grup itu. Bertiga, yaitu saya dan dua cewek rombongan Ahlul dari Surabaya tadi. Sementara Ahlul sendiri harus stay bersama para leader grup untuk mengantar peserta trip melanjutkan perjalanan ke Gunung Kidul. Setelah pamitan sama Mas Malik dan Ahlul, kami pun berjalan menuju arah Malioboro.
Suasana Nol Kilometer Malioboro di malam minggu plus liburan long weekend itu asli ramenya nggak tanggung-tanggung. Mulai dari ababil-ababil yang pacaran, mahasiswa-mahasiswa yang sekedar nongkrong, keluarga-keluarga yang lagi liburan, sampai para skater dan blader yang lagi show off, semua bersesak-sesak di sana. Dan kami, tiga orang yang terdampar dengan wajah kucel seharian nggak mandi, badan lengket penuh dengan keringat, dan menggendong backpack segede gaban di punggung, harus berjalan tanpa tujuan yang pasti menerobos keramaian itu menyusuri sepanjang jalan Malioboro sambil berharap masih ada penginapan murah yang kosong. Sebenernya siang tadi saya sempat menelepon Sita, teman yang tinggal di Jogja, untuk nitip dua cewek ini di rumahnya. Tapi setelah sedikit berdiskusi akhirnya kami sepakat untuk mencari penginapan saja di dekat Malioboro, agar akses kemana-mana lebih dekat. Sebenarnya dalam hati saya pesimis, nggak yakin dapat penginapan ala backpacker di malam selarut ini, plus pada saat liburan long weekend begini. Tapi sudahlah, nggak ada salahnya dicoba.
Dengan langkah berat kami menyusuri sepanjang Jalan Malioboro menerobos kerumunan orang-orang dan kemacetan lalu-lintas. Setiap jalan kecil dan gang-gang kami susuri, mulai dari Prawirodirjan, Suryatmajan, Jalan Dagen, sampai gang-gang kecil di antara jalan-jalan itu. Keluar masuk penginapan-penginapan yang ada di sana tanpa hasil. Hampir dua jam kami berjalan menyusuri setiap gang dan lorong gelap, dan hasilnya selalu sama: kamar penuh. Kalaupun ada yang kosong, harganya mahal, di atas 300 ribuan. Harapan satu-satunya tinggal Jalan Sosrowijayan. Memang, Jalan Sosrowijayan inilah daerah yang terkenal dengan penginapan ala backpackernya. Tapi biasanya pada musim liburan begini, selain kemungkinan nggak ada lagi kamar kosong, tarif kamar di sana biasanya jadi melonjak tinggi. Memang masih ada satu daerah lagi yang banyak penginapannya, yaitu kawasan Pasar Kembang. Tapi saya pribadi menghindari bermalam di sana, karena letaknya dekat lokalisasi. Apalagi bawa dua cewek ke sana, bisa-bisa orang berpikiran macem-macem.... -__-
Jam sebelas malam kami sampai di ujung Jalan Sosrowijayan. Backpack-backpack kami sudah mulai terasa berat, kaki pun rasanya sudah nggak keruan dipakai jalan. Malam semakin larut, jalanan sudah mulai sepi, para wisatawan sudah pulang ke penginapan masing-masing, dan nasib kami masih belum jelas. Tapi kami harus tetap jalan dan menemukan penginapan, karena sebelumnya kami sempat berpapasan dengan beberapa backpacker yang nasibnya seperti kami, muter-muter cari penginapan. Sudah susah cari kamar kosong, masih harus bersaing pula sama backpacker-backpacker itu! Untungnya, setelah menyusuri dua-pertiga Jalan Sosrowijayan, akhirnya kami mendapatkan satu penginapan yang masih kosong. Kamarnya nyaman dan murah pula! Tanpa buang waktu kami segera deal dengan bapak penjaga penginapan. Akhirnyaaa, mandii!
Minggu 10 Maret. Jogjakarta, 00:10 dini hari. Selesai mandi, bersih-bersih dan makan malam, kami sepakat untuk berjalan-jalan malam sebentar sambil menurunkan tensi yang menanjak akibat perjalanan yang nggak keruan seharian tadi. Kami menyusuri Jalan Malioboro yang sudah sepi. Hanya satu dua kendaraan yang masih melintas. Di ujung selatan Jalan Malioboro, di bawah cahaya lampu-lampu kekuningan masih terlihat keramaian anak-anak muda yang sedang bermain skate dan duduk-duduk mengobrol bersama. Ke sanalah tujuan kami, untuk sekedar menikmati suasana malam hari yang istimewa di ujung Jalan Malioboro. Saya akui, belum pernah saya temui tempat lain yang memiliki suasana khas seperti di sini. Di bawah lampu-lampu yang bercahaya kekuningan, dengan latar bangunan-bangunan tua jaman penjajahan Belanda, dan jalanan malam hari yang sudah sepi dari kendaraan yang lewat. Tempat duduk-tempat duduk dengan orang-orang yang bercanda dan tertawa bersama memecah keheningan malam. Dilengkapi taman-taman kecil dan patung-patung serta ornamen-ornamen yang artistik. Sebuah atmosfer yang sempurna di tengah kota Jogja, membuat setiap orang merasa kota ini sedang menyambut dengan hangat dan berkata ramah, "Welcome home!" :)
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. Penuh selaksa makna.
Terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu.
nikmati bersama suasana Jogja.
Sayup-sayup terdengar para pengamen menyanyikan lagu itu. Saya sedang duduk lesehan sambil menunggu dua teman saya yang sedang asyik bikin tattoo temporer di salah satu pinggiran jalan. Karena sudah terlanjur pewe, akhirnya kami jadi duduk-duduk lesehan di tempat si tukang tattoo, sambil ngobrol-ngobrol. Tattoo-tattoo sudah selesai dibuat dan didokumentasikan dengan kamera. Ngelihat kami membawa kamera, si tukang tattoo tiba-tiba meminjam kamera kami. Kemudian dia malah asik sendiri jepret-jepret ke sana-kemari dengan kamera kami. Nggak nyangka ternyata dia lumayan fasih juga menggunakan DSLR. Setiap orang yang lewat dijepretnya. Mulai dari tuna wisma yang sedang tidur, bapak-bapak yang lewat sambil memanggul barang, dan teman-teman mangkalnya. Kami cuma ngakak-ngakak melihat ulahnya yang aneh dengan gaya menjepretnya yang lebay. Berlarian kesana-kemari memamerkan kamera kami pada teman-temannya. Akhirnya kami pun keterusan ngobrol di sana.
Sampai akhirnya nggak kerasa waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Dengan terpaksa kami pamitan untuk pulang, karena besok kami sudah memiliki jadwal yang padat sejak pagi. Sebelum pulang, si tukang tattoo sempat minta foto-foto bareng, dan minta ditag di Facebook -__-
Selama perjalanan pulang kembali ke hotel, kami masih sempat berfoto-foto ria dan bercanda menertawakan ulah si tukang tatoo dengan kameranya tadi..
Benar-benar hari yang aneh untuk kami bertiga. Baru tadi pagi terbangun di sudut Kota Jepara dengan tujuan Kepulauan Karimunjawa. Namun hari ini kami akhiri dengan terdampar ratusan kilometer dari tujuan seharusnya. Menghabiskan malam bersama orang-orang yang baru saling bertemu malam sebelumnya. Tanpa tahu latar belakang dan kehidupan masing-masing. Kami bahkan belum saling hafal nama satu sama lain, namun semua bisa terasa begitu dekat. Tanpa prasangka. Tanpa penilaian. Just take our moments together. Live our life freely. This is how life should work.
Jadi inget semboyannya MLIA, Life is pretty normal today -__-
Bersambung.
Friday, March 22, 2013
2:25 PM
Post a Comment