Kesel nggak sih lama-lama, liat/denger orang ngomongin investasi, saham, kripto, bla-bla. Pas cuan langsung pasang story logo shiba inu, tapi pas kebanting nangis kena mental.
Nyinyir kan gue.
Aslinya gue paling males kalo ngomongin duit, karena jatohnya jadi preferensi pribadi yang nggak bisa didebatkan. Duit duit lu, mau ditabung kek, dipake foya-foya kek, binomo kek, serah. Tapi gegara barusan nonton video (ngakunya) tutorial jadi dividend hunter ternyata cuman disuruh liat kalender RTI, masuk deket-deket cum date trus jual pas ex-date, diakhiri dengan kata-kata disclaimer on, gue jadi ketrigger buat ngedumel di sini. Ngonten sih ngonten, tapi ga bikin sesat juga dek 👿
Emang nggak bisa dipungkiri sih, awal masuk ke dunia investasi kita pasti melewati fase jadi "penjudi." Ga tau mau mulai darimana, mau ngapain, cuma tau takut tabungan tergerus inflasi. Atau pengen dapet passive income. Akhirnya asal naruh duit di sembarang investasi. Gue bersyukur gue melewati fase itu jauh sebelum era sosmed kyk sekarang. Belom ada pom-pomers, influencer, apalagi grup vvip jual stockpick harian 😅 Miris aja kemaren kepoin ig nya salah satu "influencer saham" yang followersnya dengan polosnya nurut disuruh beli ini itu. Padahal 10 tahun yang lalu si influencer pernah diblacklist sama sesepuh-sesepuh di kaskus gegara kelakuannya yang suka bikin sesat biar dia bisa buang barang di harga tinggi. Sekarang diulangin lagi di ig pake modus yang sama.
Balik lagi ke dividend hunter. Nggak sesimpel itu, begitu tau cum date trus masuk beli sahamnya. Itu telat banget. Belum lagi pas ex date ternyata nyangkut, gimana ceritanya mau pindah emiten. Sebego-begonya masih mending masuk pas muncul jadwal RUPS, karena cum date ga akan jauh-jauh setelah RUPS dan harga belum terlalu naik. Walaupun yang paling bener ya hunting mulai dari awal tahun waktu laporan keuangan tahunan baru keluar. Dibaca, dihitung EPS nya, diestimasi nominal dividen dari DPR tahun-tahun sebelumnya. Baru kemudian ambil keputusan mau beli sahamnya ato engga dengan dividend yield segituan. Ribet? Iya. Lama? Iya. Tapi jelas nggak "berjudi."
Atau kalo mau ditarik jauh ke belakang lagi, sebelum mulai investasi, pastiin dulu money management kita kuat. Dana darurat, wajib. Sisanya bebas mau pake cara budgeting berapa persen buat apa, asuransi dulu, ato ambil secukupnya sisanya ditabung/investasi semua. Kalo money management udah kuat, baru lanjut mentalnya yang dikuatin 😅 Iya mental, karena pasar ga kenal ampun 😅 Jadi harus siap bahkan sejak mau milih instrumen investasi.
Mau aman, obligasi negara. Disyukuri aja returnnya cuman segitu. Mau amal, CWLS. Mau nguatin mental, saham. Mau cape, forex. Mau judi, kripto. Mau nggak likuid, ke properti, tanah, dll. Semua punya resikonya masing-masing. Reksadana yang dulunya gue anggep paling seimbang risk dan rewardnya pun ternyata ada aja dramanya. Bukan nakutin. Pengalaman pribadi waktu reksadana dari manajer investasi favorit gue dilikuidasi. Setelah diekspos baru kebaca kalo duit kita cuman dipake sama mafia saham buat ngegoreng harga saham. Belum lagi krisis yang nggak bisa diprediksi. Gue inget tahun 2019 kalo ga salah, Jiwasraya, Asabri, dan beberapa reksadana kena skandal. Termasuk manajer investasi gue. Parahnya, pas lagi ribet-ribetnya ngurus proses likuidasi, tiba-tiba pasar modal krisis gegara covid. Aset yang lagi proses likuidasi nilainya anjlok, sisa 15%. Itupun isinya saham-saham yang nyangkut ga bisa dijual. Nangis darah gak. Itu kenapa gue bilang musti kuat mental. Apapun instrumennya, semua butuh proses belajar yang berat dan nggak cepet.
Let's say saham. Musti lewatin fase jatuh bangun dulu untuk tau kita cocoknya masuk aliran apa. Fundamental, teknikal, bandarmology. Pilih satu, trus selesai? Belum, perjalanan masih panjang. Fundamental ada value investing, growth investing, dan turunan-turunannya. Kalo value investing, fokus aja ke perusahaan-perusahaan yang jadi market leader di sektornya. Pilih yang yakin selalu mampu bagi dividen, dan gak akan bangkrut meski krisis parah. Mindsetnya yang penting duit kita aman tanpa drama sampai puluhan tahun ke depan. Pergerakan harga saham harian, bulanan, tahunan, gak penting. Kuncinya dividen. Beli pas di harga serendah mungkin biar pas bagi dividen bisa dapet yield yang lebih besar. Jangan beli karena ikut-ikutan ato karena sering denger nama perusahaannya. Baca LK, atau minimal liat keystats dasar: revenue (bisa muter duit gak), laba bersih (bisa nyari untung gak), hutang (bisa bayar hutang gak), aset dan ekuitas (bisa survive dari krisis gak), EPS (bisa ngasih dividen berapa). PBV skip, nggak penting-penting amat. Kalo udah yakin perusahaan bener-bener sehat, baru beli.
Kalo growth investing, cari perusahaan yang terus bertumbuh. Laba tumbuh, revenue tumbuh, EPS tumbuh tahun demi tahun, meskipun saat ini valuasinya terlihat mahal. Hitung estimasi EPS tahun-tahun mendatang. Atau sebaliknya cari perusahaan yang salah harga, alias valuasinya terlalu murah. Fokusnya ke harga saham dengan timeframe tahunan. Dividen yield belum penting, karena faktanya perusahaan yang salah harga rata-rata gak doyan bagi dividen. Makanya pasar mengapersiasi dengan harga saham yang murah, alias ga laku, untuk sekarang. Sebelum beli, cari tau kenapa gak bagi dividen padahal PERnya rendah, misalnya. Bisa jadi lagi fokusin profit buat bayar hutang, atau nguatin ekuitas, atau simply ownernya pelit atau alasan politis lainnya. Kalo udah bener-bener yakin perusahaan bakal bisa menyelesaikan pe-ernya (kenapa gak bagi dividen) dan yakin di masa depan bakal bisa ngasih dividen, baru boleh beli. Musti diingat, meskipun beli saham salah harga fokusnya ke capital gain dari kenaikan harga beberapa tahun ke depan, tapi tetep, di fundamental, dividen adalah koentji. Karena kalo udah bisa ngasih dividen, baru harga saham akan naik signifikan.
Mau value investing atau growth investing, intinya sama-sama kuat-kuatin baca LK, screening keystats. Kalo udah, baru ke pe-er selanjutnya, biasain analisis LK yang mendalam biar gak ketipu LK yang ngaku-ngaku sehat padahal cuma cantik di atas kertas. Gimana caranya dari informasi di LK yang notabene data masa lalu kita bisa mengestimasi kinerja perusahaan di masa depan. Biar di depan gak nangis kayak yang pegang GIAA, yang katanya market leader di penerbangan, BUMN aman punya pemerintah, keliatannya berkelas, ujung-ujungnya suspend mau dipailitkan. Kalo pe-er analisis LK udah kelar, dasarnya udah kuat, baru boleh main-main ke aliran oportunis macem dividend hunter, IPO hunter, dan sebagainya.
Teknikal lebih kompleks lagi. Ada style intraday, swing, scalping, bsjp (beli sore jual pagi), bla-bla. Klo style intraday musti komitmen, jual-beli musti kelar dalam waktu satu hari bursa. Manfaatin pergerakan harga di sesi 1 dan sesi 2 bursa. Ga urusan mau profit atau loss, komitmen sehari musti kelar. Kalo style scalping musti punya skill jadi copet. Harga naik 3-4 tick, take profit, kabur. Pindah yang lain. 1-5 menit per emiten cukup. Mindsetnya mirip di forex, gapapa sehari profit cuman 1%, toh dalam 20 hari bursa, profit 20% udah di tangan. Kalo style swing musti ngikutin siklus sektor-sektor yang lagi jadi sentimen. Rusia-Ukraina perang, batubara pasti naik. Komoditas naik. Masuk ke perusahaan yang diuntungkan. Yang rugi karena biaya produksi naik, tinggalin. Perang selesai, pindah ke sektor lain yang sentimennya lagi positif. Dan seterusnya. Mau aliran teknikal apapun, LK nggak penting. Dividen apalagi. Yang penting pergerakan harga saham. Teknisnya mau milih dengan cara ngehafal pattern candlestick, ngegambar garis-garis halu, trend following, BoW, SoS, dan lain-lain, bebas. Ada ratusan indikator yang bisa dipilih. Setelah milih indikator pun masih ada pe-er lagi. Yaitu mendalami gimana memanfaatkan indikator tersebut sesuai dengan style trading kita pribadi. Misal ma (moving average), mau fokus ke golden cross/death cross bisa, mau pakai kombinasi ma50, ma100, ma200 bisa, atau sekedar buat screening tren juga bisa. Atau ngehafal pattern, mau yang timeframe agak lebar macem head and shoulder, cup and handle, flag, atau pakai timeframe mini seperti doji, three black crows, inverted hammer, juga bisa. Asal jangan dicampur aduk. Pilih, dalami. Semua indikator punya detail masing-masing yang musti didalami. Yang pasti, mindest teknikal secara umum adalah: membaca psikologis pasar dari indikator yang dipakai. Jadi bukan sekedar menghapal pattern trus cocoklogi. Pilih indikator yang paling cocok dengan style kita, dalami dan pahami maknanya, banyak-banyakin trial and error sampai yakin skill udah mateng di indikator tersebut, baru pakai buat ambil keputusan kapan beli dan kapan jual.
Jadi musti jadi investor atau trader? Balik ke kepercayaan masing-masing, karena sampe kiamat pun perdebatan trader vs investor ga akan kelar. Bagi orang fundamental, trading pakai teknikal itu semacam halu ngegambar garis-garis terawangan macem dukun. Bagi orang teknikal, ngapain nunggu berabad-abad buat cuan kalo bisa baca sinyal pasar saat itu juga pakai statistik dan probabilitas. Belum lagi kalo invest tapi salah milih emiten. Udah rugi uang, rugi waktu bertahun-tahun pula. Bandarmology juga gitu. Bagi sebagian orang, bandarmology itu lawak, ga ada yang namanya bandar, adanya ya mekanisme pasar. Tapi bagi yang mendalami, bandarmology nggak sesimpel nontonin broker summary, tapi juga musti paham gelagat-gelagat aneh di running trade, tau cara ngetest pasar, sampai cara mancing paus a.k.a big fund buat keluar dari balik layar orderbook. Kompleks? Iya. Semua punya detail masing-masing yang harus dipilih dan diselami. Ga bisa cuman bilang gue investor, gue trader, tapi ga konsisten pakai style dan aliran yang mana. Harga naik dikit buru-buru dijual kayak scalper, tapi kalo turun banyak ga berani cutloss, malah average down. Akhirnya jadi investor dadakan, disimpen sampe kiamat. Porto jadi merah semua kan ujungnya.
Kalo kripto gimana?
Well, gue pernah masuk bitcoin pas masih di harga 20jutaan rupiah. Jual di 30jutaan. Ternyata setahun kemudian harganya naik sampai 700jutaan. Nyesel? Enggak. Nggak ada alasan nyesel karena gimananpun waktu itu gue "berjudi." Belum ngerti banyak tentang blockchain. Minim pengetahuan tentang konsep desentralisasi. Belum dapet kesimpulan apakah kripto masuknya instrumen investasi, komoditas, atau bisa jadi cuma money game. Sekarang pun porto gue cuman ada sedikit kripto yang latar belakang dan kegunaannya bener-bener jelas, sekedar untuk diversifikasi. Buat gue, kripto nggak bisa disebut dengan mata uang digital, karena jelas nggak ada fundamentalnya. Apalagi emas digital, jelas bukan. Komoditas? Bisa. Alat pembayaran? Bisa, meski belum signifikan. Entah nanti kalau NFT dan metaverse bisa booming. Sebenernya masih banyak yang pengen gue bahas tentang kripto, cuman kayaknya postingan gue udah kepanjangan. Intinya kalo mau jadiin kripto sebagai instumen investasi, musti yakin dengan jelas dulu kegunaannya, mekanisme desentralisasinya, nilai intrinsiknya muncul dari mana. Apakah dari reward untuk jasa desentralisasinya yang butuh biaya operasional yang besar, apakah hanya dari mekanisme pasar dan pom-poman-nya Elon Musk, atau suka-suka developernya mau ngasih harga berapa di awal pengembangannya. Kecuali kalo niatnya judi, ya bebas mau milih yang mana, tinggal kuat-kuatan mental. Karena kripto emang mayoritas scam, money game, ponzi berkedok teknologi blockchain, kecuali beberapa yang bener-bener untuk teknologi masa depan.
Just my opinion about investing things. Di satu sisi bagus udah pada melek investasi. Tik-tok, IG, youtube isinya influencer semua. Bagus, karena pasar juga butuh orang-orang yang nyangkut 😂 Just kidding. Di sisi lain, prihatin aja banyak influence yang misleading dan menyesatkan, jual mimpi demi konten, bahkan banyak juga yang sengaja ngorbanin followersnya biar bisa exit di harga tinggi. Miris. Gue sendiri bukan orang yang tiap hari terjun langsung ke dunia pasar modal, jadi pengetahuan gue jelas terbatas. Tapi seenggaknya gue bisa bedain mana yang beneran niat berbagi ilmu mana yang ngonten doang tanpa tanggung jawab. Intinya trust no one. Literally no one, bahkan influencer yang followernya jutaan sekalipun. Do your own research. Karena di pasar modal, kita nggak punya kontrol untuk apapun selain ngejual dan ngebeli. Masih mending feelingmology daripada harus ikut-ikutan stockpick dari influencer, grup telegram, dan lain-lan.